Monday, August 24, 2009

012

"Desiderata" (Latin for "desired things", plural of desideratum) is an inspirational prose poem by Max Ehrmann about attaining happiness in life. It begins: Go placidly amid the noise and the haste, and remember what peace there may be in silence. Ehrmann first copyrighted it in 1927, but it was widely circulated in the 1960s without attribution to him. This copyright was renewed in 1954 by Bertha Ehrmann.


Desiderata. Desiderata. Desiderata.
Go placidly amid the noise and haste,
and remember what peace there may be in silence.
As far as possible without surrender,
Be on good terms with all persons.Align Center
Speak your truth quietly and clearly, and listen to others -
Even the dull and ignorant, they too have their story.
Avoid loud and aggressive persons - they are vexations to the spirit.
If you compare yourself with others, you may become vain and bitter,
For always there will be greater and lesser persons than yourself.

Enjoy your achievements as well as your plans.
Keep interested in your own career -
However humble, it is a real possession in the changing fortunes of time.
Exercise caution in your business affairs,
for the world is full of trickery.
But let this not blind you to what virtue there is.
Many persons strive for high ideals,
and everywhere life is full of heroism.
Be yourself.
Especially do not feign affection, neither be cynical about love.
For in the face of all aridity and disenchantment,
It is as perenial as the grass.
Take kindly the council of the years,
Gracefully surrendering the things of youth.
Nurture strength of spirit to shield you in sudden misfortune,
But do not distress yourself with imaginings -
Many fears are borne of fatigue and loneliness.
Beyond a wholesome discipline, be gentle with yourself.

You are a child of the universe.
No less than the trees and the stars, you have a right to be here.
And whether or not it is clear to you,
No doubt the universe is unfolding as it should.

Therefore, be at peace with God, whatever you conceive him to be.
And whatever your labors and aspirations,
in the noisy confusion of life,
Keep peace with your soul.
With all its sham, drudgery, and broken dreams,
it is still a beautiful world.
Be careful. Strive to be happy.

[Desiderata, Max Ehrmann, 1927]

Friday, August 21, 2009

011

[sebelum lebih lanjut bercerita tentang Syeikh Siti Jenar, dan ajaran-ajaran beliau - terlebih dahulu elok kiranya disertakan sedikit latar belakang Syeikh Siti Jenar, dan ajaran pokok beliau]

MENGENAL SYEIKH SITI JENAR

Syekh Siti Jenar (829-923 H/1348-1439 C/1426-1517 M), memiliki banyak nama : San Ali (nama kecil pemberian orangtua angkatnya, bukan Hasan Ali Anshar seperti banyak ditulis orang); Syekh ‘Abdul Jalil (nama yg diperoleh di Malaka, setelah menjadi ulama penyebar Islam di sana); Syekh Jabaranta (nama yg dikenal di Palembang, Sumatera dan daratan Malaka); Prabu Satmata (Gusti yg nampak oleh mata; nama yg muncul dari keadaan kasyf atau mabuk spiritual; juga nama yg diperkenalkan kepada murid dan pengikutnya); Syekh Lemah Abang atau Lemah Bang (gelar yg diberikan masyarakat Lemah Abang, suatu komunitas dan kampung model yg dipelopori Syekh Siti Jenar; melawan hegemoni kerajaan. Wajar jika orang Cirebon tidak mengenal nama Syekh Siti Jenar, sebab di Cirebon nama yg populer adalah Syekh Lemah Abang); Syekh Siti Jenar (nama filosofis yg mengambarkan ajarannya tentang sangkan-paran, bahwa manusia secara biologis hanya diciptakan dari sekedar tanah merah dan selebihnya adalah roh Allah; juga nama yg dilekatkan oleh Sunan Bonang ketika memperkenalkannya kepada Dewan Wali, pada kehadirannya di Jawa Tengah/Demak; juga nama Babad Cirebon); Syekh Nurjati atau Pangran Panjunan atau Sunan Sasmita (nama dalam Babad Cirebon, S.Z. Hadisutjipto); Syekh Siti Bang, serta Syekh Siti Brit; Syekh Siti Luhung (nama-nama yg diberikan masyarakat Jawa Tengahan); Sunan Kajenar (dalam sastra Islam-Jawa versi Surakarta baru, era R.Ng. Ranggawarsita [1802-1873]); Syekh Wali Lanang Sejati; Syekh Jati Mulya; dan Syekh Sunyata Jatimurti Susuhunan ing Lemah Abang.

Siti Jenar lebih menunjukkan sebagai simbolisme ajaran utama Syekh Siti Jenar yakni ilmu kasampurnan, ilmu sangkan-paran ing dumadi, asal muasal kejadian manusia, secara biologis diciptakan dari tanah merah saja yg berfungsi sebagai wadah (tempat) persemayaman roh selama di dunia ini. Sehingga jasad manusia tidak kekal akan membusuk kembali ketanah. Selebihnya adalah roh Allah, yg setelah kemusnaan raganya akan menyatu kembali dengan keabadian. Ia di sebut manungsa sebagai bentuk “manunggaling rasa” (menyatu rasa ke dalam Tuhan).

Dan karena surga serta neraka itu adalah untuk derajad fisik maka keberadaan surga dan neraka adalah di dunia ini, sesuai pernyataan populer bahwa dunia adalah penjara bagi orang mukmin. Menurut Syekh Siti Jenar, dunia adalah neraka bagi orang yg menyatu-padu dgn Tuhan. Setelah meninggal ia terbebas dari belenggu wadag-nya dan bebas bersatu dgn Tuhan. Di dunia manunggalnya hamba dgn Tuhan sering terhalang oleh badan biologis yg disertai nafsu-nafsunya. Itulah inti makna nama Syekh Siti Jenar.




INGSUN, ALLAH DAN KEMANUNGGALAN (SYEKH SITI JENAR)

1.“Sabda sukma, adhep idhep Allah, kang anembah Allah, kang sinembah Allah, kang murba amisesa.”

Pernyataan Syekh Siti Jenar diatas secara garis besarnya adalah: “Pernyataan roh yg bertemu-hadapan dgn Allah, yg menyembah Allah, yg disembah Allah, yg meliputi segala sesuatu.”

Ini adalah salah satu sumber pengetahuan ajaran Syekh Siti Jenar yg maksudnya adalah sukma (roh di kedalaman jiwa) sebagai pusat kalam (pembicaraan dan ajaran). Hal itu diakibatkan karena di kedalaman roh batin manusia tersedia cermin yg disebut mir’ah al-haya’ (cermin yg memalukan). Bagi orang yg sudah bisa mengendalikan hawa nafsunya serta mencapai fana’ cermin tersebut akan muncul, yg menampakkan kediriannya dengan segala perbuatan tercelanya. Jika ini telah terbuka maka tirai-tirai Rohani juga akan tersingkap, sehingga kesejatian dirinya beradu-adu (adhep idhep), “aku ini kau, tapi kau aku”.

Maka jadilah dia yg menyembah sekaligus yg disembah, sehingga dirinya sebagai kawula-Gusti memiliki wewenang murba amisesa, memberi keputusan apapun tentang dirinya, menyatu iradah dan kodrat kawula-Gusti.

2. “Hidup itu bersifat baru dan dilengkapi dengan pancaindera. Pancaindera ini merupakan barang pinjaman, yg jika sudah diminta oleh yg empunya, akan menjadi tanah dan membusuk, hancur lebur bersifat najis. Oleh karena itu pancaindera tidak dapat dipakai sebagai pedoman hidup. Demikian pula budi, pikiran, angan-angan dan kesadaran, berasal dari pancaindera, tidak dapat dipakai sebagai pegangan hidup. Akal dapat menjadi gila, sedih, bingung, lupa tidur dan seringkali tidak jujur. Akal itu pula yg siang malam mengajak dengki, bahkan merusak kebahagiaan orang lain. Dengki dapat pula menuju perbuatan jahat, menimbulkan kesombongan, untuk akhirnya jatuh dalam lembah kenistaan, sehingga menodai nama dan citranya. Kalau sudah sampai sedemikian jauhnya, baru orang menyesalkan perbuatannya.”

Menurut Syekh Siti Jenar, baik pancaindera maupun perangkat akal tidak dapat dijadikan pegangan dan pedoman hidup. Sebab semua itu bersifat baru, bukan azali. Satu-satunya yg bisa dijadikan gondhelan dan gandhulan hanyalah Zat Wajibul Maulanan, Zat Yang Maha Melindungi. Pancaindera adalah pintu nafsu dan akal adalah pintu bagi ego. Semuanya harus ditundukkan di bawah Zat Yang Wajib memimpin.

Karena hanya Dialah yg menunjukkan semua budi baik. Jadi pancaindera harus dibimbing oleh budi dan budi dipimpin oleh Sang Penguasa Budi atau Yang Maha Budi. Sedangkan Yang Maha Budi itu tidak terikat dalam jeratan dan jebakan nama tertentu. Sebab nama bukanlah hakikat. Nama itu bisa Allah, Hyang Widi, Hyang Manon, Sang Wajibul Maulana dan sebagainya. Semua itu produk akal, sehingga nama tidak perlu disembah. Jebakan nama dalam syari’at justru malah merendahkan nama-NYA.

3.“Apakah tidak tahu bahwa penampilan bentuk daging, urat, tulang, sunsum, bisa rusak dan bagaimana cara Anda memperbaikinya? Biarpun bersembahyang seribu kali setiap harinya akhirnya mati juga. Meskipun badan Anda, Anda tutupi akhirnya menjadi debu juga. Tetapi jika penampilan bentuknya seperti Tuhan, Apakah para Wali dapat membawa Pulang dagingnya, saya rasa tidak dapat. Alam semesta ini baru. Tuhan tidak akan membentuk dunia ini dua kali dan juga tidak akan membuat tatanan batu, dalilnya layabtakiru hilamuhdil yg artinya tidak membuat sesuatu wujud lagi tentang terjadinya alam semesta sesudah dia membuat dunia.”

Dari pernyataan itu nampak Syekh Siti Jenar memandang alam makrokosmos sama dengan mikrokosmos (manusia). Kedua hal tersebut merupakan barang baru ciptaan Tuhan yg sama-sama akan mengalami kerusakan atau tidak kekal.Pada sisi lain, pernyataan Syekh Siti Jenar tsb mempunyai muatan makna pernyataan sufistik, “Barangsiapa mengenal dirinya, maka ia pasti mengenal Tuhannya.” Sebab bagi Syekh Siti Jenar manusia yg utuh dalam jiwa raganya merupakan wadag bagi penyanda, termasuk penyanda alam semesta. Itulah sebabnya pengelolaan alam semesta menjadi tanggungjawab manusia.Maka mikrokosmos manusia, tidak lain adalah Blueprint dan gambaran adanya jagat besar termasuk semesta.

Baginya Manusia terdiri dari jiwa dan raga yg intinya ialah jiwa sebagai penjelmaan dzat Tuhan (Sang Pribadi). Sedangkan raga adalah bentuk luar dari jiwa yg dilengkapi pancaindera, berbagai organ tubuh seperti daging, otot, darah dan tulang. Semua aspek keragaan atau ketubuhan adalah barang pinjaman yg suatu saat setelah manusia terlepas dari pengalaman kematian di dunia ini, akan kembali berubah menjadi tanah. Sedangkan rohnya yg menjadi tajalli Ilahi, manunggal ke dalam keabadian dengan Allah.

4. “Segala sesuatu yg terjadi di alam semesta ini pada hakikatnya adalah af’al (perbuatan) Allah. Berbagai hal yg dinilai baik maupun buruk pada hakikatnya adalah dari Allah juga. Jadi keliru dan sesat pandangan yg mengatakan bahwa yg baik dari Allah dan yg buruk dari selain Allah.”

“…Af’al Allah harus dipahami dari dalam dan dari luar diri. Saat manusia menggoreskan pena misalnya, di situ lah terjadi perpaduan dua kemampuan kodrati yg dipancarkan oleh Allah kepada makhluk-NYA, yakni kemampuan kodrati gerak pena. Di situlah berlaku dalil "Wa Allahu khalaqakum wa ma ta’malun (Qs.Ash-Shaffat:96)", yg maknanya Allah yg menciptakan engkau dan segala apa yg engkau perbuat. Di sini terkandung makna mubasyarah. Perbuatan yg terlahir dari itu disebut al-tawallud. Misalnya saya melempar batu. Batu yg terlempar dari tangan saya itu adalah berdasarkan kemampuan kodrati gerak tangan saya. Di situ berlaku dalil "Wa ma ramaita idz ramaita walakinna Allaha rama (Qs.Al-Anfal:17)", maksudnya bukanlah engkau yg melempar, melainkan Allah jua yg melempar ketika engkau melempar. Namun pada hakikatnya antara mubasyarah dan al-tawallud hakikatnya satu, yakni af’al Allah sehingga berlaku dalil la haula wa la quwwata illa bi Allahi al-‘aliyi al-‘adzimi. Rosulullah bersabda “La tataharraku dzarratun illa bi idzni Allahi", yg maksudnya tidak akan bergerak satu dzarah pun melainkan atas idzin Allah.”

Eksistensi manusia yg manunggal ini akan nampak lebih jelas peranannya, dimana manusia tidak lain adalah ke-Esa-an dalam af’al Allah. Tentu ke-Esa-an bukan sekedar af’al, sebab af’al digerakkan oleh dzat. Sehingga af’al yg menyatu menunjukkan adanya ke-Esa-an dzat, kemana af’al itu dipancarkan.

5. “Di dunia ini kita merupakan mayat-mayat yg cepat juga akan menjadi busuk dan bercampur tanah. Ketahuilah juga apa yg dinamakan kawula-Gusti tidak berkaitan dgn seorang manusia biasa seperti yg lain-lain. Kawula dan Gusti itu sudah ada dalam diriku, siang dan malam tidak dapat memisahkan diriku dari mereka. Tetapi hanya untuk saat ini nama kawula-Gusti itu berlaku, yakni selama saya mati. Nanti, kalau saya sudah hidup lagi, Gusti dan kawula lenyap, yg tinggal hanya hidupku sendiri, ketentraman langgeng dalam ADA sendiri. Bila kau belum menyadari kebenaran kata-kataku maka dgn tepat dapat dikatakan, bahwa kau masih terbenam dalam masa kematian. Di sini memang terdapat banyak hiburan aneka warna. Lebih banyak lagi hal-hal yg menimbulkan hawa nafsu. Tetapi kau tidak melihat, bahwa itu hanya akibat pancaindera. Itu hanya impian yg sama sekali tidak mengandung kebenaran dan sebentar lagi akan cepat lenyap. Gilalah orang yg terikat padanya. Saya tidak merasa tertarik, tak sudi tersesat dalam kerajaan kematian. Satu-satunya yg kuusahakan, ialah kembali kepada kehidupan.”

Syekh Siti Jenar menyatakan dgn tegas bahwa dirinya sebagai Tuhan, ia memiliki hidup dan Ada dalam dirinya sendiri, serta menjadi Pangeran bagi seluruh isi dunia. Sehingga didapatkan konsistensi antara keyakinan hati, pengalaman keagamaan, dan sikap perilaku dzahirnya. Juga ditekankan satu hal yg selalu tampil dalam setiap ajaran Syekh Siti Jenar. Yakni pendapat bahwa manusia selama masih berada di dunia ini sebetulnya mati, baru sesudah ia dibebaskan dari dunia ini, akan dialami kehidupan sejati. Kehidupan ini sebenarnya kematian ketika manusia dilahirkan. Badan hanya sesosok mayat karena ditakdirkan untuk sirna. (bandingkan dengan Zoetmulder; 364). Dunia ini adalah alam kubur, dimana roh suci terjerat badan wadag yg dipenuhi oleh berbagai goda-nikmat yg menguburkan kebenaran sejati dan berusaha menguburkan kesadaran Ingsun Sejati.



SURGA DAN NERAKA (SYEIKH SITI JENAR)

“anal jannatu wa nara katannalr al anna”, sering digunakan oleh Syekh Siti Jenar dalam menjelaskan hakikat surga dan neraka. Penulisan yg benar nampaknya adalah “inna al-janatu wa al-naru qath’un ‘an al-ana” (Sesungguhnya keberadaan surga dan neraka itu telah nyata adanya sejak sekarang atau di dunia ini).

Sesungguhnya, menurut ajaran Islam pun, surga dan neraka itu tidaklah kekal. Yang menganggap kekal surga dan neraka itu adalah kalangan awam. Sesungguhnya mereka berdua wajib rusak dan binasa.

Bagi Syekh Siti Jenar, surga atau neraka bukanlah tempat tertentu untuk memberikan pembalasan baik dan buruknya manusia. Surga neraka adalah perasaan roh di dunia, sebagai akibat dari keadaan dirinya yg belum dapat menyatu-tunggal dgn Allah. Sebab bagi manusia yg sudah memiliki ilmu kasampurnan, jelas bahwa ketika mengalami kematian dan melalui pintunya, ia kembali kepada Hidup Yang Agung, hidup yang tan kena kinaya ngapa (hidup sempurna abadi sebagai Sang Hidup). Yaitu sebagai puncak cita-cita dan tujuan manusia.

Jadi, karena surga dan neraka itu ternyata juga makhluk, maka surga dan neraka tidaklah kekal, dan juga bukanlah tempat kembalinya manusia yang sesungguhnya. Sebab tidak mungkin makhluk akan kembali kepada makhluk, kecuali karena keadaan yang belum sempurna hidupnya. Oleh al-Qur’an sudah ditegaskan bahwa tempat kembalinya manusia hanya Allah, yang tidak lain adalah proses kemanunggalan, ilaihi raji’un, ilaihi al-mashir



PUASA DAN HAJI (SYEIKH SITI JENAR)

“Syahadat, shalat dan puasa itu, sesuatu yang tidak diinginkan, jadi tidak perlu. Adapun zakat dan naik haji ke Makah, itu semua omong kosong (palson kabeh). Itu seluruhnya kedurjanaan budi, penipuan terhadap sesama manusia. Orang-orang dungu yg menuruti aulia, karena diberi harapan surga di kelak kemudian hari, itu sesungguhnya keduanya orang yang tidak tahu. Lain halnya dengan saya, Siti Jenar.”

“Tiada pernah saya menuruti perintah budi, bersujud-sujud di mesjid mengenakan jubah, pahalanya besok saja, bila dahi sudah menjadi tebal, kepala berbelulang. Sesungguhnya hal ini idak masuk akal! Di dunia ini semua manusia adalah sama. Mereka semua mengalami suka-duka, menderita sakit dan duka nestapa, tiada beda satu dengan yang lain. Oleh karena itu saya, Siti Jenar, hanya setia pada satu hal saja, yaitu Gusti Zat Maulana.”

Syekh Siti jenar menyebutkan bahwa syariat yang diajarkan para wali adalah “omong kosong belaka”, atau “wes palson kabeh”(sudah tidak ada yang asli). Tentu istilah ini sangat amat berbeda dengan anggapan orang selama ini, yang menyatakan bahwa Syekh Siti Jenar menolak syari’at Islam. Yang ditolak adalah reduksi atas syari’at tersebut. Syekh Siti Jenar menggunakan istilah “iku wes palson kabeh”, yg artinya “itu sudah dipalsukan atau dibuat palsu semua.” Tentu ini berbeda pengertiannya dengan kata “iku palsu kabeh” atau “itu palsu semua.”Jadi yang dikehendaki Syekh Siti Jenar adalah penekanan bahwa syari’at Islam pada masa Walisanga telah mengalami perubahan dan pergeseran makna dalam pengertian syari’at itu. Semuanya hanya menjadi formalitas belaka. Sehingga manfaat melaksanakan syariat menjadi hilang. Bahkan menjadi mudharat karena pertentangan yang muncul dari aplikasi formal syariat tsb.

Bagi Syekh Siti Jenar, syariat bukan hanya pengakuan dan pelaksanaan, namun berupa penyaksian atau kesaksian. Ini berarti dalam pelaksanaan syariat harus ada unsur pengalaman spiritual. Nah, bila suatu ibadah telah menjadi palsu, tidak dapat dipegangi dan hanya untuk membohongi orang lain, maka semuanya merupakan keburukan di bumi.

Apalagi sudah tidak menjadi sarana bagi kesejahteraan hidup manusia. Ditambah lagi, justru syariat hanya menjadi alat legitimasi kekuasaan (seperti sekarang ini juga). Yang mengajarkan syari’at juga tidak lagi memahami makna dan manfaat syari’at itu, dan tidak memiliki kemampuan mengajarkan aplikasi syari’at yg hidup dan berdaya guna. Sehingga syari’at menjadi hampa makna dan menambah gersangnya kehidupan rohani manusia.

Nah, yg dikritik Syekh Siti Jenar adalah shalat yg sudah kehilangan makna dan tujuannya itu. Shalat haruslah merupakan praktek nyata bagi kehidupan. Yakni shalat sebagai bentuk ibadah yg sesuai dgn bentuk profesi kehidupannya. Orang yg melakukan profesinya secara benar, karena Allah, maka hakikatnya ia telah melaksanakan shalat sejati, shalat yg sebenarnya. Orientasi kepada yang Maha Benar dan selalu berupaya mewujudkan Manunggaling Kawula Gusti, termasuk dalam karya, karsa-cipta itulah shalat yg sesungguhnya.



MAKNA IHSAN (SYEIKH SITI JENAR)

“Itulah yang dianggap Syekh Siti Jenar Hyang Widi. Ia berbuat baik dan menyembah atas kehendak-NYA. Tekad lahiriahnya dihapus. Tingkah lakunya mirip dengan pendapat yg ia lahirkan. Ia berketetapan hati untuk berkiblat dan setia, teguh dalam pendiriannya, kukuh menyucikan diri dari segala yg kotor, untuk sampai menemui ajalnya tidak menyembah kepada budi dan cipta. Syekh Siti Jenar berpendapat dan menggangap dirinya bersifat Muhammad, yaitu sifat rasul yg sejati, sifat Muhammad yg kudus.”

“Gusti Zat Maulana. Dialah yg luhur dan sangat sakti, yg berkuasa maha besar, lagipula memiliki dua puluh sifat, kuasa atas kehendak-NYA. Dialah yg maha kuasa, pangkal mula segala ilmu, maha mulia, maha indah, maha sempurna, maha kuasa, rupa warna-NYA tanpa cacat seperti hamba-NYA. Di dalam raga manusia Ia tiada nampak. Ia sangat sakti menguasai segala yg terjadi dan menjelajahi seluruh alam semesta, Ngidraloka”

Dua kutipan di atas adalah aplikasi dari teologi Ihsan menurut Syekh Siti Jenar, bahwa sifatullah merupakan sifatun-nafs. Ihsan sebagaimana ditegaskan oleh Nabi dalam salah satu hadistnya (Sahih Bukhari, I;6), beribadah karena Allah dgn kondisi si ‘Abid dalam keadaan menyaksikan (melihat langsung) langsung adanya si Ma’bud. Hanya sikap inilah yg akan mampu membentuk kepribadian yg kokoh-kuat, istiqamah, sabar dan tidak mudah menyerah dalam menyerukan kebenaran. Sebab Syekh Siti Jenar merasa, hanya Sang Wujud yg mendapatkan haq untuk dilayani, bukan selain-NYA. Sehingga, dgn kata lain, Ihsan dalam aplikasinya atas pernyataan Rasulullah adalah membumikan sifatullah dan sifatu-Muhammad menjadi sifat pribadi.

Dengan memiliki sifat Muhammad itulah, ia akan mampu berdiri kokoh menyerukan ajarannya dan memaklumkan pengalamannya dalam “menyaksikan langsung” ada-NYA Allah. “Persaksian langsung” itulah terjadi dalam proses manunggal.

“Hyang Widi, wujud yg tak nampak oleh mata, mirip dengan ia sendiri, sifat-sifatnya mempunyai wujud, seperti penampakan raga yg tiada tampak. Warnanya melambangkan keselamatan, tetapi tanpa cahaya atau teja, halus, lurus terus-menerus, menggambarkan kenyataan tiada berdusta, ibaratnya kekal tiada bermula, sifat dahulu yg meniadakan permulaan, karena asal dari diri pribadi.”

Ihsan berasal dari kondisi hati yg bersih. Dan hati yg bersih adalah pangkal serta cermin seluruh eksistensi manusia di bumi. Keihsanan melahirkan ketegasan sikap dan menentang ketundukan membabi-buta kepada makhluk. Ukuran ketundukan hati adalah Allah atau Sang Pribadi. Oelh karena itu, sesama manusia dan makhluk saling memiliki kemerdekaan dan kebebasan diri. Dan kebebasan serta kemerdekaan itu sifatnya pasti membawa kepada kemajuan dan peradaban manusia, serta tatanan masyarakat yg baik, sebab diletakkan atas landasan Ke-Ilahian manusia. Penjajahan atas eksistensi manusia lain hakikatnya adalah bentuk dari ketidaktahuan manusia akan Hyang Widi Allah (seperti Rosul sering sekali mengatakan bahwa “Sesungguhnya mereka tidak mengerti”).

Karena buta terhadap Allah Yang Maha Hadir bagi manusia itulah, maka manusia sering membabi-buta merampas kemanusiaan orang lain. Dan hal ini sangat ditentang oleh Syekh Siti Jenar. Termasuk upaya sakralisasi kekuasaan Kerajaan Demak dan Sultannya, bagi Syekh Siti Jenar harus ditentang, sebab akan menjadi akibat tergerusnya ke-Ilahian ke dalam kedzaliman manusia yang mengatasnamakan hamba Allah yg shalih dan mengatasnamakan demi penegakan syari’at Islam.

Pribadi adalah pancara roh, sebagai tajalli atau pengejawantahan Tuhan. Dan itu hanya terwujud dengan proses wujudiyah, Manuggaling Kawula-Gusti, sebagai puncak dan substansi tauhid. Maka manusia merupakan wujud dari sifat dan dzat Hyang Widi itu sendiri. Dengan manusia yg manunggal itulah maka akan menjadikan keselamatan yg nyata bukan keselamatan dan ketentraman atau kesejahteraan yg dibuat oleh rekayasa manusia, berdasarkan ukurannya sendiri. Namun keselamatan itu adalah efek bagi terejawantah-NYA Allah melalui kehadiran manusia.

Sehingga proses terjadinya keselamatan dan kesejahteraan manusia berlangsung secara natural (sunnatullah), bukan karena hasil sublimasi manusia, baik melalui kebijakan ekonomi, politik, rekayasa sosial dan semacamnya sebagaimana selama ini terjadi. Maka dapat diketahui bahwa teologi Manuggaling Kawula Gusti adalah teologi bumi yg lahir dengan sendirinya sebagai sunnatullah. Sehingga ketika manusia mengaplikasikannya, akan menghasilkan manfaat yg natural juga dan tentu pelecehan serta perbudakan kemanusiaan tidak akan terjadi, sifat merasa ingin menguasai, sifat ingin mencari kekuasaan, memperebutkan sesama manusia tidak akan terjadi. Dan tentu saja pertentangan antar manusia sebagai akibat perbedaan paham keagamaan, perbedaan agama dan sejenisnya juga pasti tidak akan terjadi.
[dipetik dari sebuah forum: KASKUS]

Thursday, August 20, 2009

010

SASHAHIDAN SYEIKH SITI JENAR (bah.2)


KESEJATIAN HIDUP DAN KEHIDUPAN


10.“Rahasia kesadaran kesejatian kehidupan, ya ingsun ini kesejatian hidup, engkau sejatinya Allah, ya ingsun sejatinya Allah; yakni wujud (yang berbentuk) itu sejatinya Allah, sir (rahsa=rahasia) itu Rasulullah, lisan (pangucap) itu Allah, jasad Allah badan putih tanpa darah, sir Allah, rasa Allah, rahasia kesejatian Allah, ya ingsun (aku) ini sejatinya Allah.”
(Wejangan Walisanga: hlm. 5)


Subtansi dari ungkapan spiritual tersebut adalah bahwa kesejatian hidup, rahasia kehidupan hanya ada pada pengalaman kemanunggalan antara kawula-Gusti. Dan dalam tataran atau ukuran orang ‘awam hal itu bisa diraih dengan memperhatikan uraian dan wejangan Syekh Siti Jenar tentang “Shalat Tarek Limang Waktu”.


11.“Adanya kehidupan itu karena pribadi, demikian pula keinginan hidup itupun ditetapkan oleh diri sendiri. Tidak mengenal roh, yang melestarikan kehidupan, tiada turut merasakan sakit ataupun lelah. Suka dukapun musnah karena tiada diinginkan oleh hidup. Dengan demikian hidupnya kehidupan itu, berdiri sendiri sekehendak.”

(Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 32)


Pernyataan tersebut menunjukkan adanya kebebasan manusia dalam menentukan jalan hidup. Manusia merdeka adalah manusia yang terbebas dari belenggu kultural maupun belenggu struktural. Dalam hidup ini, tidak boleh ada sikap saling menguasai antar manusia, bahkan antara manusia dengan Tuhan pun hakikatnya tidak ada yang menguasai dan yang dikuasai. Ini jika melihat intisari ajaran manunggalnya Syekh Siti Jenar. Sebab dalam manusia ada roh Tuhan yang menjamin adanya kekuasaan atas pribadinya dalam menjalani kehidupan di dunia ini.

Dan allah itulah satu-satunya Wujud. Yang lain hanya sekedar mewujud. Cahaya hanya satu, selain itu hanya memancarkan cahaya saja, atau pantulannya saja. Subtansi pernyataan Syekh Siti Jenar tersebut adalah Qs. Al-Baqarah/2;115, “Timur dan Barat kepunyaan Allah. Maka ke mana saja kamu menghadap di situlah Wajah Allah. ”

Wujud itu dalam Pribadi, dan di dunia atau alam kematian ini, memerlukan wadah bagi pribadi untuk mengejawantah, menguji diri sejauh mana kemampuannya mengelola keinginan wadag, sementara Pribadinya tetap suci.



TUHAN DAN KEMANUSIAAN

12.“Zat wajibul maulana adalah yang menjadi pemimpin budi yang menuju ke semua kebaikan. Citra manusia hanya ada dalam keinginan yang tunggal. Satu keinginan saja belum tentu dapat melaksanakan dengan tepat, apa lagi dua. Nah, cobalah untuk memisahkan zat wab\jibul maulana dengan budi, agar supaya manusia dapat menerima keinginan yang lain”.

(Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 44)

Manusia yang mendua adalah manusia yang tidak sampai kepada derajat kemanunggalan. Sementara manusia yang manunggal adalah pemilik jiwa yang iradah dan kodratnya telah pula menyatu dengan Ilahi. Sehingga akibat terpecahnya jiwa dengan roh Ilahi, maka kehidupannya dikuasai oleh keinginan yang lain, yang dalam al-Qur’an disebut sebagai hawa nafsu. Maka agar tidak terjadi split personality, dan tidak mengakibatkan kerusakan dalam tatanan kehidupan, harus ada keterpaduan antara Zat Wajibul Maulana dengan budi manusia. Dan sang Zat Wajibul Maulana ini berada di dalam kedirian manusia, bukan di luarnya.

13."Hyang Widi, kalau dikatakan dalam bahasa di dunia ini, baka bersifat abadi, tanpa antara, tiada erat dengan sakit ataupun rasa tidak enak. Ia berada baik di sana, maupun di sini, bukan itu bukan ini. Oleh tingkah yang banyak dilakukan dan yang tidak wajar, menuruti raga, adalah sesuatu yang baru. Segala sesuatu yang berwujud, yang tersebar di dunia ini, bertentangan dengan sifat seluruh yang diciptakan, sebab isi bumi itu angkasa yang hampa."

(Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 30)



Tuhan adalah yang maha meliputi. Keberadaannya, tidak dibatasi oleh lingkup ruang dan waktu, keghaiban atau kematerian. Hakikat keberadaan segala sesuatu adalah keberadaan-Nya. Oleh karenanya keberadaan segala sesuatu di hadapan-Nya sama dengan ketidakberadaan segala sesuatu, termasuk kedirian manusia. Maka sikap yang selalu menuruti raga disebut sebagai “sesuatu yang baru” dalam arti tidak mengikuti iradah-Nya. Raga seharusnya tunduk kepada jiwa yang dinaungi roh Ilahi. Sebab raga hanyalah sebagai tempat wadag bagi keberadaan roh itu. Jangan terjebak hanya menghiasi wadahnya, namun seharusnya yang mendapat prioritas untuk dipenuhi perhiasan dan dicukupi kebutuhannya adalah isi dari wadah.

14.“Gagasan adanya badan halus itu mematikan kehendak manusia. Dimanakah adanya Hyang Sukma, kecuali hanya diri pribadi. Kelilingilah cakrawala dunia, membumbunglah ke langit yang tinggi, selamilah dalam bumi sampai lapisan ke tujuh, tiada ditemukan wujud yang Mulia.”

“Ke mana saja sunyi senyap adanya; ke utara, selatan, barat, timur dan tengah, yang ada di sana-sana hanya di sini adanya. Yang ada di sini bukan wujud saya. Yang ada didalamku adalah hampa yang sunyi. Isi dalam daging tubuh adalah isi perut yang kotor. Maka bukan jantung bukan otak yang pisah dari tubuh, laju pesat bagaikan anak panah lepas dari busur, menjelajah Mekah dan Madinah.”

“Saya ini bukan budi, bukan angan-angan hati, bukan pikiran yang sadar, bukan niat, bukan udara, bukan angin, bukan panas dan bukan kekosongan atau kehampaan. Wujud saya ini jasad, yang akhirnya menjadi jenazah, busuk bercampur tanah dan debu. Napas saya mengelilingi dunia, tanah, api, air dan udara kembali ke tempat asalnya atau aslinya, sebab semuanya barang baru, bukan asli.”

“Maka saya ini Zat yang sejiwa, menyukma dalam Hyang Widi. Pangeran saya bersifat jalal dan jamal, artinya Mahamulia dan Mahaindah. Ia tidak mau shalat atas kehendak sendiri, tidak pula mau memerintahkan untuk shalat kepada siapapun. Adapun orang shalat, itu budi yang menyuruh, budi yang laknat dan mencelakakan, tidak dapat dipercaya dan diturut, karena perintahnya berubah-ubah. Perkataannya tidak dapat dipegang, tidak jujur, jika diturut tidak jadi dan selalu mengajak mencuri.”

(Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 33-36)


Menurut Syekh Siti Jenar, Allah bukanlah sesuatu yang asing bagi diri manusia. Allah juga bukan yang ghaib dari manusia. Walaupun Ia penyandang asma al-Ghayb, namun itu hanya dari sudut materi atau raga manusia. Secara rohiyah, Allah adalah ke-Diri-an manusia itu. Dalam diri manusia terdapat roh al-idhafi yang membimbing manusia untuk mengenal dan menghampirinya. Sebagai sarananya, dalam otak kecil manusia, Allah menaruh God-spot (titik Tuhan) sebagai filter bagi kerja otak, agar tidak terjebak hanya berpikir materialistik dan matematis. Inilah titik spiritual yang akan menghubungkan jiwa dan raga melalui roh al-idhafi. Dari sistem kerja itulah kemudian terjalin kemanunggalan abadi. Maka kalau ada anggapan bahwa Allah itu ghaib bagi manusia, sesuatu yang jauh dari manusia, pandangan itu keliru dan sesat.

Sekali lagi apa yang terurai di atas, adalah suatu kedaaan dan kesadaran yang sudah tidak ada tingkatan lagi. Jika masih ada terdapat tingkatan maka sebaiknya disempurnakan lagi. Karena tingkatan itu telah dilebur menjadi satu dengan nama keyakinan, sehingga tidak ada perbedaan atau tingkatan. Semuanya berpulang kepada Allah, Tuhan sekalian Alam, apa kata Alam ini ialah juga kehendak-Nya yang merupakan wujud ADA dalam kehidupan manusia beserta makhluk lainnya. Allahu Akbar.

15.“Syukur kalo saya sampai tiba di alam kehidupan yang sejati. Dalam alam kematian ini saya kaya akan dosa. Siang malam saya berdekatan dengan api neraka. Sakit dan sehat saya temukan di dunia ini. Lain halnya apabila saya sudah lepas dari alam saya kematian ini. Saya akan hidup sempurna, langgeng tiada ini itu.”


(Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh VI Pangkur, 20-21)


Dalam prespektif kemanunggalan, dunia adalah alam kematian yang sesungguhnya, dikarenakan roh Ilahinya terpenjara dalam badan wadagnya. Dengan badan wadag yang berhias nafsu itulah, terjadi dosa manusia. Sehingga keberadaan manusia di dunia penuh dengan api neraka. Ini sangat berbeda kondisinya dengan alam setelah manusia memasuki pintu kematian. Manusia akan manunggal di alam kehidupan sejati setelah mengalami mati. Disanalah ditemukan kesejatian Diri yang tidak parsial. Dirinya yang utuh, sempurna, dengan segala kehidupan yang juga sempurna.

16.“Menduakan kerja bukan watak saya! Siapa yang mau mati! Dalam alam kematian orang kaya akan dosa! Balik jika saya hidup yang tak kenal ajal, akan langgeng hidup saya, tidak perlu ini itu. Akan tetapi bila saya disuruh milih hidup atau mati saya tidak sudi! Sekalipun saya hidup, biar saya sendiri yang menentukan! Tidak usah Walisanga memulangkan saya ke alam kehidupan! Macam bukan wali utama saya ini, mau hidup saja minta tolong pada sesamanya. Nah marilah kamu saksikan! Saya akan pulang sendiri ke alam kehidupan sejati.”


(Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh VIII Dandanggula, 14-16)

Karena kematian hanya sebagai pintu bagi kesempurnaan hidup yang sesungguhnya, maka sebenarnya kematian juga menjadi bagian tidak terpisahkan dari keberadaan manusia sebagai pribadi. Oleh karena itu, kematian bukanlah sesuatu yang menakutkan bukan sesuatu yang bisa dipilih orang lain. Kematian adalah hal yang muncul dengan kehendak Pribadi, menyertai keinginan pribadi yang sudah berada dalam kondisi manunggal.

Oleh karena itu, dalam sistem teologi Syekh Siti Jenar, sebenarnya tidak ada istilah “dimatikan” atau “dipulangkan”, baik oleh Allah atau oleh siapapun. Sebab dalam hal mati ini, sebenarnya tidak ada unsur tekan-menekan atau paksaan. Pintu kematian adalah sesuatu hal yang harus dijalani secara sukarela, ikhlas, dan harus diselami pengetahuannya, agar ia mengetahui kapan saatnya ia menghendaki kematiannya itu. Barulah jika seseorang memang tidak pernah mempersiapkan diri, dan tidak pernah mau mempelajari ilmu kematian, tanpa tau arahnya ke mana, dan tidak mengerti apa yang sedang dialami.

17.“Betapa banyak nikmat hidup manfaatnya mati. Kenikmatan ini dijumpai dalam mati, mati yang sempurna teramat oleklah dia. Manusia sejati-sejatinya yang sudah meraih puncak ilmu. Tiada dia mati, hidup selamanya. Menyebutkan mati syirik, lantaran tak tersentuh lahat, hanya beralih tempatlah dia dengan memboyong kratonnya. Kenikmatan mati tak dapat dihitung”

“Tersasar, tersesat, lagi terjerumus, menjadikan kecemasan, menyusahkan dalam patinya, justru bagi ilmu orang remeh”

(Babad Jaka Tingkir-Babad Pajang, hlm. 74)

Menurut penuturan Babad Jaka Tingkir, ungkapan mistik itu keluar dari ucapan darah Syekh Siti Jenar, setelah dipenggal kepalanya oleh Dewan Walisanga. Darah yang menyembur, jatuh ke tanah melukis kaligrafi la ilaaha illallah, dan mengeluarkan ucapan-ucapan mistik tersebut. Para wali dan masyarakat yang menyaksikannya terkejut campur bingung. Setelah beberapa saat, dari lisan kepala yang sudah dipenggal, keluar ucapan yang memerintahkan agar darah kembali ke jasadnya, demikian pula kepala menyatu dengan tubuh. Jelas bahwa kematian fisik tak mampu menyentuh Syekh Siti Jenar. Mati ada dalam hidup, hidup ada dalam mati.hidup selamanya tidak mati, kembali ke tujuan, langgeng selamanya. Setelah berpamitan dan mengucapkan salam kepada semua yang menyaksikan, Syekh Siti Jenar dengan diliputi oleh semerbak bau harum terbungkus cahaya gemerlapan yang menyorot ke atas, kemudian lenyap terserap ke dalam al-Ghaib, Dia Yang Sudah Dimuliakan. Iringan cahaya bersinar cemerlang, berkilau gemilang, berkobar menyala, menyuramkan sinar sang mentari, menyilaukan pandang semua orang yang menyaksikan.

Adapun pelaksanaan hukuman atas dirinya, oleh Syekh Siti Jenar sengaja dibiarkan terlaksana, guna memenuhi hukum duniawi, sekaligus sebagai monumen kebenaran ajarannya. Tanpa bukti yang dinampakkan secara dzahir, maka kebenaran ajaran Manunggaling Kawula-Gusti tidak akan pernah terwujud. Sebab pembuktian itu –sebagaimana sudah terjadi pada Mansur al-Hallaj, al-Syuhrawardi dan ‘Aynul Quddat al-Hamadani sebagai pendahulunya – memang menuntut jasad sang Guru sebagai martir atau syahid bagi kesufiannya. Dengan kemartirannya dan kesediannya sebagai syuhada’ bagi sufisme di Tanah Jawa itulah ia disebut sebagai Syekh Jatimurni, Guru Pemilik Inti Kesejatian atau Pusar Ilmu Kasampurnan.

[bersambung]
[dipetik dari sebuah forum: KASKUS]

Wednesday, August 19, 2009

009

SASHAHIDAN SYEIKH SITI JENAR - TENTANG ALLAH, TAUHID, DAN MANUNGGALING KAWULA GUSTI (bah.1)

1.“Allah itu adalah keadaanku, kenapa kawan-kawan pada memakai penghalang?Sesungguhnya aku inilah haq Allah pun tiada wujud dua, nanti Allah sekarang Allah, tetap dzahir batin Allah, kenapa kawan-kawan masih memakai pelindung?”

(Babad Tanah Sunda, Sulaeman Sulendraningrat, 1982, bagian XLIII).


Ucapan spiritual Syekh Siti Jenar tersebut diucapkan pada saat para wali menghendaki diskusi yang membahas masalah Micara Ilmu tanpa Tedeng Aling-aling. Diskusi para wali diadakan setelah Dewan Walisanga mendengar bahwa Syekh Siti Jenar mulai mengajarkan ilmu ma’rifat dan hakikat. Sementara dalam tugas resmi yang diberikan oleh Dewan Walisanga hanya diberi kewenangan mengajarkan syahadat dan tauhid. Sementara menurut Syekh Siti Jenar justru inti paling mendasar tentang tauhid adalah manunggal, di mana seluruh ciptaan pasti akan kembali menyatu dengan yang menciptakan.

Pada saat itu, Sunan Gunung Jati mengemukakan, “Adapun Allah itu adalah yang berwujud haq”; Sunan Giri berpendapat, “Allah itu adalah jauhnya tanpa batas, dekatnya tanpa rabaan.”; Sunan Bonang berkata, “Allah itu tidak berwarna, tidak berupa, tidak berarah, tidak bertempat, tidak berbahasa, tidak bersuara, wajib adanya, mustahil tidak adanya.”; Sunan Kalijaga menyatakan, “Allah itu adalah seumpama memainkan wayang.”; Syekh Maghribi berkata, “Allah itu meliputi segala sesuatu.”; Syekh Majagung menyatakan, “Allah itu bukan disana atau disitu, tetapi ini.”; Syekh Bentong menyuarakan, “Allah itu itu bukan disana sini, ya inilah.”; Setelah ungkapan Syekh Bentong inilah, tiba giliran Syekh Siti Jenar dan mengungkapkan konsep dasar teologinya di atas. Hanya saja ungkapan Syekh Siti Jenar tersebut ditanggapi dengan keras oleh Sunan Kudus, yang salah menangkap makna ungkapan mistik tersebut, “Jangan suka terlanjur bahasa menurut pendapat hamba adapun Allah itu tidak bersekutu dengan sesama.”

Mulai persidangan itulah hubungan Syekh Siti Jenar dengan para wali memanas, sebab Syekh Siti Jenar tetap teguh pada pendirian tauhid sejatinya. Sementara para Dewan Wali mengikuti madzhab resmi yang digariskan oleh kerajaan Demak, Sunni-Syafi’i. Sampai masa persidangan penentuannya, Syekh Siti Jenar tetap menyuarakan dengan lantang teologi manunggalnya bahwa, “Utawi Allah iku nyataning sun kang sampurna kang tetep ing dalem dhohir batin,” (bahwa Allah itu nyatanya aku yang sempurna yang tetap di dalam dzahir dan batin) [bagian XLIV]. Riwayat yang agak sama juga tercantum dalam Babad Cerbon, terbitan Brandes (1911) pada Pupuh 23, Kinanti bait 1-8.

2.“Jika ada seorang manusia yang percaya kepada kesatuan lain selain dari Tuhan yang Mahakuasa, ia akan kecewa karena ia tidak akan memperoleh apa yang ia inginkan.”
(S. Soebardi, The Book of ebolek, hlm. 103)


Menurut beberapa sumber, di antaranya Soebardi (1975), beberapa saat setelah Syekh Siti Jenar wafat, para wali mendengar suara yang berasal dari roh Syekh Siti Jenar yang berupa ungkapan mistik tersebut. Ungkapan mistik itu merupakan ungkapan terakhir dari sang sufi sebagai bukti bahwa sampai sesudah wafatnya, dia memperoleh apa yang diinginkannya, dan menjadi bukti kebenaran ajarannya, yakni kehidupan sejati dalam kesatuan; manunggaling kawula-Gusti.

3.“… tidak usah kebanyakan teori semu, sesungguhnya ingsun inilah Allah. Nyata Ingsun Yang Sejati, bergelar Prabu Satmata, yang tidak ada lain kesejatiannya, yang disebut sebangsa Allah”
(R. Tanoyo: Walisanga, hlm. 124)

Maksud bebas ungkapan tersebut adalah “Tidak usah kebanyakan bicara tentang teori ketuhanan, sesungguhnya ingsun (aku sejati) inilah Allah. Yaitu Ingsun (Kedirian) Yang Sejati, juga bergelar Prabu Satmata (Tuhan Yang Maha Melihat, mengetahui segala-galanya), dan tidak boleh ada yang lain yang penyebutannya mengarah kepada Allah sebagai Tuhan”.



4.“Mungguh sajatine ananing zdat kang sanyata iku muhung ana anteping tekat kita, tandhane ora ana apa-apa, ananging kudu dadi sabarang sedya kita kang satuhu”

[Sebenarnya, keberadaan dzat yang nyata itu hanya berada pada mantapnya tekad kita, tandanya tidak ada apa-apa, akan tetapi harus menjadi segala niat kita yang sungguh-sungguh].

(Serat Candhakipun Riwayat Jati, hlm. 1)

Menurut Syekh Siti Jenar, keberadaan dzat hanya ada beserta kemantapan hati dalam merengkuh Tuhan. Dalam diri tidak ada apa-apa kecuali menjadikan menunggal sebagai niat dan yang mewarnai segala hal yang berhubungan dengan asma, sifat dan af’al Pribadi. Inilah di antara maksud utama ungkapan di atas. Jadi pemahaman atas ungkapan itu harus tetap berada dalam lingkup kemanunggalan. Kemanunggalan tidak akan berhasil jika hanya mengandalkan perangkat syari’at dan tarekat. Apalagi sekedar syari’at lahiriyah (nominal). Kemanunggalan akan berhasil seiring dengan tekad hati dan keseluruhan Pribadi dalam merengkuh Allah, sebagaimana roh Allah pada awalnya ditiupkan atas setiap pribadi manusia.



5.“…marilah kita berbicara dengan terus terang. Aku ini Allah. Akulah yang sebenarnya disebut Prabu Satmata, tidak ada lain yang bernama Allah, saya menyampaikan ilmu tertinggi yang membahas ketunggalan. Ini bukan badan, selamanya bukan, karena badan tidak ada. Yang kita bicarakan ialah ilmu sejati dan untuk semua orang kita membuka tabir [artinya membuka rahasia yang paling tersembunyi.]”

(Serat Siti Jenar Asmarandana, hlm. 15, bait 20-22).


6.“Tidak usah banyak tingkah, saya inilah Tuhan, Ya, betul-betul saya ini adalah Tuhan yang sebenarnya, bergelar Prabu Satmata, ketahuilah bahwa tidak ada bangsa Tuhan yang lain selain saya.Saya ini mengajarkan ilmu untuk betul-betul dapat merasakan adanya kemanunggalan. Sedangkan bangkai itu selamanya kan tidak ada. Adapun yang dibicarakan sekarang ini adalah ilmu yang sejati yang dapat membuka tabir kehidupan. Dan lagi, semuanya sama. Sudah tidak ada tanda secara samar-samar, bahwa benar-benar tidak ada perbedaan lagi. Jika ada perbedaan yang bagaimanapun, saya akan tetap mempertahankan tegaknya ilmu tersebut.”

(Boekoe Siti Djenar, Tan Khoen Swie, hlm. 18-20).


7.“Jika Anda menanyakan dimana rumah Tuhan, jawabnya tidaklah sulit. Allah berada pada dzat yang tempatnya tidak jauh, yaitu bersemayam di dalam tubuh. Tetapi hanya orang yang terpilih yang bisa melihatnya, yaitu orang yang suci.”

(Suluk Wali Sanga, R. Tanaja, hlm. 42-46).



Ungkapan no. 5, 6, dan 7 Dinyatakan dalam sidang para wali yang dipimpin oleh Sunan Giri bertempat di Giri Kedaton. Penjelasan Syekh Siti Jenar bahwa dirinya bukan badan menanggapi pernyataan Maulana Maghribi yang bertanya, “Tetapi yang kau tunjukkan itu hanya badan.” Syekh Siti Jenar menyampaikan ajaran “ingsun” yang dikemukakan secara radikal, yang mengajarkan kesamaan tuntas antara san pembicara dengan Allah. Ini sebagai efek dari berbagai pengalaman spiritualnya yang demikian tinggi, sehingga Manunggaling Kawula-Gusti juga meniscayakan adanya manunggalnya kalam (pembicaraan, sabda, firman). Adapun gelar Prabu Satmata memilki makna sama dengan Hyang Manon atau Yang Maha Tahu. Gelar tersebut juga diberikan kepada para Walisanga kepada Sunan Giri.Nampak bahwa Syekh Siti Jenar memiliki pendirian tegas, bahwa ilmu spiritual harus diajarkan kepada semua orang. Karena justru dengan membuka tabir itulah, orang akan mengetahui hakikat kehidupan dan rahasia hidupnya.

8.“Syekh Lemah Abang namaku, Rasulullah ya aku, Muhammad ya aku, Asma Allah itu sesungguhnya diriku; ya Akulah yang menjadi Allah ta’ala.”

(Wawacan Sunan Gunung Jati terbitan Emon Suryaatmana dan T.D. Sudjana, Pupuh 38 Sinom, bait 13).



Ungkapan mistik Syekh Siti Jenar tersebut menunjukkan, bahwa dalam teologi manunggaling kawula-Gusti, tidak hanya terjadi proses kefanaan antara hamba dan pencipta sebagaimana apa yang dialami oleh Bayazid al-Bustami dan Manshur al-Hallaj. Dalam kasus pengalaman mistik Syekh Siti Jenar, antara syahadat Rasul dan syahadat Tauhid ikut larut dalam kefanaan. Sehingga dalam pengalaman mistik manunggal ini, terjadi kemanunggalan diri, Rasul dan Tuhan.

Suatu titik puncak pengalaman spiritual, yang sudah dialami oleh para ulama sufi sejak abad ke-9, yakni sejak fana’nya Bayazid al-Busthami, Junaid al-Baghdadi, “ana al-Haqq”-nya Manshur al-Hallaj, juga ‘Aynul Quddat al-Hamadani, dan Syaikh al-Isyraq Syuhrawardi al-Maqtul, dan akhirnya menemukan titik kulminasinya pada teologi Manunggaling Kawula-Gusti Syekh Siti Jenar.



9.“Sesungguhnyalah, Lapal Allah yaitu kesaksian akan Allah, yang tanpa rupa dan tiada tampak, membingungkan orang, karena diragukan kebenarannya. Dia tidak mengetahui akan diri pribadinya yang sejati, sehingga ia menjadi bingung.

Sesungguhnya nama Allah itu untuk menyebut wakil-Nya, diucapkan untuk menyatakan yang dipuja dan menyatakan suatu janji. Nama itu ditumbuhkan menjadi kalimat yang diucapkan: “Muhammad Rasulullah”. Padahal sifat kafir berwatak jisim, yang akan membusuk, hancur lebur bercampur tanah.

Lain jika kita sejiwa dengan Zat Yang Maha Luhur. Ia gagah berani, naha sakti dalam syarak, menjelajahi alam semesta. Dia itu Pangeran saya, yang menguasai dan memerintah saya, yang bersifat wahdaniyah, artinya menyatukan diri dengan ciptaan-Nya. Ia dapat abadi mengembara melebihi peluru atau anak sumpitan, bukan budi bukan nyawa, bukan hidup tanpa asal dari manapun, bukan pula kehendak tanpa tujuan.

Dia itu yang bersatu padu menjadi wujud saya. Tiada susah payah, kodrat dan kehendak-Nya, pergi ke mana saja tiada haus, tiada lelah tanpa penderitaan dan tiada lapar. Kekuasan-Nya dan kemampuan-Nya tiada kenal rintangan, sehingga pikiran keras dari keinginan luluh tiada berdaya. Maka timbullah dari jiwa raga saya kearif-bijaksanaan tanpa saya ketahui keluar dan masuk-Nya, tahu-tahu saya menjumpai Ia sudah ada disana”.

(Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sastrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 45-48)



Pernyataan di atas adalah tafsir sederhana dari sasahidan yang menjadi intisari ajaran Syekh Siti Jenar, dan landasan mistik teologi kemanunggalan. Kalimah syahadat yang hanya diucapkan dengan lisan dan hanya dihiasi dengan perangkat kerja fisik (pelaksanaan fiqih Islam dengan tanpa aplikasi spiritual), hakikatnya adalah kebohongan. Pelaksanaan aspek fisik keagamaan yang tidak disertai dengan implikasi kemanunggalan roh, sebenarnya jiwa orang itu mencuri, yakni mencuri dari perhatiannya kepada aspek Allah dalam diri. Itulah sebenar-benarnya munafik dalam tinjauan batin, dan fasik dalam kacamata lahir. Sebab manusia sebagai khalifah-Nya adalah cermin Ilahiyah yang harus menampak kepada seluruh alam. Sebagai alatnya adalah kemanunggalan wujudiyah sebagaimana terdapat dalam Sasahidan. Terdapat kesatupaduan antara Allah, Rasul dan manusia. Masing-masing bukanlah sesuatu yang saling asing mengasingkan.

[bersambung]

[Ajaran dan Jalan Kematian Syeikh Siti Jenar: Abdul Munir Mulkan]

[dipetik dari sebuah forum: KASKUS]

Tuesday, August 18, 2009

008

Berkata Rumi -

“Betapa mulia dan pengasihnya Allah! Dia mengunci rapat-rapat telinga mereka yang mendengarkan dan tidak memahami, menentang tetapi tidak belajar apa pun. Allah itu sungguh pengasih, Murka Nya adalah anugerah, dan bahkan penguncian Nya juga anugerah. Tetapi penguncian Nya bukan apa-apa bagi pembukaan Nya, kerana keagungan itu tidak dapat dijabarkan. Jika aku hancur berkeping-keping, pastilah melalui rahmat dan pembukaan Allah”.

Jika seorang pejalan tersadung sebuah batu di jalan mereka 700 tahun lalu, dan dari peristiwa ini mengubah arah hidup mereka, kita barangkali menyimpulkan batu itu hanyalah satu kebetulan. Tetapi jika batu yang sama itu menghalangi ribuan orang, selama berabad-abad, masing-masing menjauh dengan pesan yang berbeda dan hikmah yang berbeda, maka dapatkah kita menyebut ini sebagai kebetulan?

Ketika orang-orang bodoh tersandung, mereka bangun dan berjalan lagi seolah olah tidak terjadi apa-apa. Seorang bijak akan menemukan makna lebih besar atas kejatuhan mereka. Tetapi sebuah batu yang menyandung para pelancong dalam setiap zaman, setiap waktu menyebarkan sebuah makna yang berbeda, itu bukan sekadar batu. Itulah Tuhan.

[dipetik dari wacana-wacana rumi : FIHI MA FIHI]

Sunday, August 16, 2009

007

EVERYTHING HAS A NAME

Deaf and blind from the age of a year and a half, Helen Keller had no language at all until she was seven. She had touched things, but not known that words went with them. The following passage describes the occasion of learning her first word; she recalls her discovery that every palpable thing has a name. In his play and movie The Miracle Worker, William Gibson dramatized the kind of savagery that existed in Miss Keller before her teacher Anne Sullivan helped her to accept the gift of language. Words awakened Miss Keller to the world because language enables one to find and express relationships; to give thoughts their embodiment and feelings their articulation.

[Keller and Sullivan in 1898: wikipedia]



The most important day I remember in all my life is the one on which my teacher, Anne Mansfielfd Sullivan, came to me, I am filled with wonder when I consider the immeasurable contrast between the two lives which it connects. It was the third of March, 1887, three months before I was seven years old.

On the afternoon on that eventful day, I stood on the porch, dumb, expectant. I guess vaguely from my mother's signs and from the hurrying to and from in the house that something unusual was about to happen, so I went to the door and waited on the steps. The afternoon sun penetrated the mass of honeysuckle that covered the porch, and fell on my upturned face. My fingers lingered almost unconsciously on the familiar leaves and blossoms which had just come forth to greet the sweet southern spring. I did not know what the future held of marvel or surprise for me. Anger and bitterness had preyed upon me continually for weeks and a deep languor had succeeded this passionate struggle.

Have you ever been at sea in a dense fog, when it seemed as if a tangible white darkness shut you in, and the great ship, tense and anxious, groped her way toward the shore with plummet and sounding-line, and you waited with beating heart for something to happen? I was like that ship before my education began, only I was without compass or sounding-line, and had no way of knowing how near the harbour was. "Light! give me light!" was the wordless cry of my soul, and the light of love shone on me in that every hour.


I felt approaching footsteps. I stretched out my hands as I supposed to my mother. Some one took it, and I was caught up and held close in the arms of her who had come to reveal all things to me, and, more than all things else, to love me.

The morning after my teacher came she led me into her room and me a doll The little blind children at the Perkins Institution had sent it and Laura Bridgman had dressed it; but I did not know this until afterward. When I had played with it a little while, Miss Sullivan slowly spelled into my hand the word "d-o-l-l." I was at once succeeded in making the letters correctly i was flushed with childish pleasure and pride. Running downstairs to my mother I held up my hand and made the letters for doll. I did not know that I was spelling a word or even that words existed; I was simply making my fingers go in monkey-like imitation. In the days that followed I learned to spell in this uncomprehending way a great many words, among them pin, hat, cup, and a few verbs like sit, stand, and walk. But my teacher had been with me several weeks before I understood that everything has a name.

One day, while I was playing with my new doll, Miss Sullivan put my big rag doll into my lap also, spelled "d-o-l-l" and tried to make me understand that "d-o-l-l" applied to both. Earlier in the day we had had a tussle over the words "m-u-g" and "w-a-t-e-r". Miss Sullivan had tried to impress it upon me that "m-u-g" is mug and that "w-a-t-e-r" is water, but I persisted in confounding the two. In despair she had dropped the subject for the time, only to renew it at the first opportunity. I became impatient at her repeated attempts and, seizing the new doll, I dashed it upon the floor. I was keenly delighted when I felt the fragments of the broken doll at my feet. Neither sorrow nor regret followed my passionate outburst. I had not loved the doll. It is still, dark world in which I lived there was no strong sentiment or tenderness. I felt my teacher sweep the fragments to one side of the hearth, and I had a sense of satisfaction that the cause of my discomfort was removed. She brought me my hat, and I knew I was going out into the warm sunshine. This thought if a wordless sensation may be called a thought, made me hop and skip with pleasure.

We walked down the path to the well-house, attracted by the fragrance of the honeysuckle with which it was covered. Some one was drawing water and my teacher placed my hand under the spout. As the cool stream gushed over one hand she spelled into the other the word water, first slowly, then rapidly. I stood still, my whole attention fixed upon the motions of her fingers. Suddenly I felt a misty consciousness as of something forgotten - a thrill of returning thought; and somehow the mystery of language of language was revealed to me. I knew then that "w-a-t-e-r" meant the wonderful cool something that was flowing over my hand. That living word awakened my soul, gave it light, hope, joy, set it free! There were barriers still, it is true, but barriers that could in time be swept away.

I felt the well-house eager to learn. everything had a name, and each name gave birth to a new thought. As we returned to the house every object which I touched seemed quiver with life. That was because I saw everything with the strange, new sight that had come to me. On entering the door I remembered the doll I had broken. I felt my way to the hearth and picked up the pieces. I tried vainly to put them together. Then my eyes filled with tears; for I realized what I had done, and for the first time I felt repentance and sorrow.

I learned a great many words that day. I do not remember what they all were; but I do know that mother, father, sister, teacher were among them - words that were to make the world blossom for me, "like Aaron's rod, with flowers." It would have been difficult to find a happier child than I was as I lay in my crib at the close of that eventful day and lived over the joys it had brought me, and for the firs time longed for a new day to come.


[reprinted from The Story of My Life by Helen Keller, published by Doubleday & Company]

Thursday, August 13, 2009

006

//Kesenian Buddhis//

[credit:redbuble -buddhastatue]

Kesenian Buddhis bermula selepas Buddha meninggal dunia. Pada masa kesenian Buddhis telah mencapai tahap kemuncaknya, masih tiada sebarang langkah awalan diambil untuk menganggapnya sebagai keramat sehingga 4 abad selepas Buddha meninggal dunia. Walaupun Gandha-kuti adalah tempat kediaman Buddha yang tetap, tetapi Buddha tidak sentiasa menetap di situ. Sebab itulah timbulnya masalah yang berkaitan dengan tempat keramat. Persoalan mengenai dengan jenis simbol atau tempat keramat yang sesuai yang dipersetujui oleh Buddha untuk dijadikan tempat upacara/penghormatan semasa peninggalanNya pun juga timbul (di dalam Kalingabodhi Jataka).


Jawapan Buddha berkenaan perkara di atas ialah, Beliau patut diwakili oleh Pokok Yang Maha Bijaksana (Maha-bodhi-rukkha) semasa Beliau masih hidup dan diwakili oleh sarira iaitu sisa-sisa tulang selepas mayat dibakar. Buddha tidak setuju dengan menggunakan barang untuk menandakan barang-barang keramat yang anthropomorphik, sebab Buddha menganggapkannya sebagai barang-barang khayalan yang tiada asas.

[nota: saya menganggap Buddha sendiri tidak menghalalkan pem-berhala-an]

Oleh hal yang demikian, kesenian Buddhis yang awal menggambarkan Buddha sebagai pokok Bodhi, Bilik yang wangi, Roda Hukum, bekas tapak kaki (pada-valanja), timbunan batu berbentuk piramid (stupa), pelana kosong atau takhta, atau sekaki payung. Payung masih melambangkan simbol raja di negara-negara Timur.


Buddha mulai diwakili dalam bentuk manusia pada abad pertama S.M. Walaubagaimanapun, imej Buddha yang biasa terdapat mencerminkan Buddha sebagai Penduduk Yang Sangat Baik, orang yang terbaik, orang Kosmik atau dengan secara langsung menetapkan imej beliau dalam bentuk Yakkha-Agathos, Daimon atau Tutelary Genius. Imej demikian adalah selaras dengan hakikat bahawa Buddha sendiri adalah Yakkha yang patut diperkorbankan, bersama dengan doktrin Kesucian Yakkha, dan dengan latarbelakang berkenaan pre-Buddhis Sakya, Licchavi dan sistem agama Vajji Yakkha, yang mana Buddha sendiri telah menasihati orang-orang Vajji supaya jangan mengabaikan kewajipan kebiasaan mereka.


Sebagai Bodhisatva, beliau disalahanggap sebagai roh pokok di mana beliau duduk. Dalam Jetavana dan kesenian Buddhis yang awal, Buddha diwakili sebagai tempat keramat pokok (rukkha-cetiya). Begitu juga untuk Yakkha, kuil-kuil adalah kediaman yang digemari oleh Buddha dalam masa perjalanan Beliau dari satu tempat ke tempat yang lain.

Kesenian India telah dipengaruhi oleh perkembangan dan sifat-sifat imej Buddha yang berlainan. Sifat imej Gandhara ialah rambut yang ikal dan unhisa (tonjol di bahagian atas kepala). Kepala yang tidak berambut dan unhisa yang tersembul adalah imej Buddha dari Mathura. Imej Buddha dari Amaravati biasanya mempunyai salib (swaatika) di atas kaki. Imej Buddha dari Gupta kebanyakannya mempunyai sesuatu lingkaran cahaya di sekeliling kepala dan kain lutsinar yang berlipat.


Pada umumnya, terdapat 3 jenis bentuk Buddha:

(1) Thana - bentuk berdiri
(2) Asana - bentuk duduk
(3) Sayana - bentuk baring


Imej Buddha yang berdiri menunjukkan Beliau berdiri sama ada atas bumi, di udara atau atas air. Imej Buddha berdiri atas bumi menunjukkan Beliau memberi atau menerima hadiah, merenung pada pokok Bo, berjalan sambil bersemadi, dalam perjalanan untuk menerima dana, atau menaikkan tapak tanganNya seakan-akan menyatakan "jangan bimbang" (abhaya mudra)


Imej Buddha yang berdiri di udara menunjukkan Beliau sedang melakukan fenomenon Twin Wonder(berada di 2 tempat pada masa yang sama) di Kapilavatthu, atau pulang dari Devaloka Tavatimsa selepas memberi syarahan kepada ibuNya Maha Maya. Beberapa imej menunjukkan Buddha berdiri di atas air bah di Uruvela pada masa menukar kepercayaan Uruvela Kassapa.


Di bawah kategori kedua, terdapat 3 jenis corak duduk.

(1) Padmasana (posisi teratai), posisi samadhi (penumpuan), duduk bersila dengan tangan kanan terletak di atas tangan kiri.

(2) Bhadrasana (posisi bertuah), kedua-dua kaki berjuntai ke bawah dan biasanya Beliau berehat di atas lantai atau tempat letak kaki. (seperti imej di Chandi Mendut, Jawa)

(3) Lalitasana (posisi lemah gemalai), satu kaki berjuntai ke bawah tetapi yang satu lagi bersilang. Posisi ini adalah popular bagi imej Bodhisatva dan imej orang Tibet.


Beberapa imej menunjukkan Buddha dengan kedua-dua kakiNya berehat di atas lantai seperti yang menggambarkan Buddha melaksa nakan fenomena `Twin Wonder' di Gua Mango. Gaya ini juga digunakan untuk menggambarkan Buddha berangkat naik ke udara dalam posisi duduk.
Sekiranya kedua-dua kategori yang pertama dan kedua menunjukkan peristiwa penting dan merupakan amalan harian dalam hidup Buddha, kategori ketiga hanya menunjukkan Beliau dalam posisi terbaring(di atas katil kematianNya).


Imej dalam kategori-kategori pertama dan kedua (berdiri dan duduk) juga mempamerkan salah satu daripada pergerakan dengan tanganNya.(mudra)

(1) Perlindungan (abhaya mudra):Tangan kananNya diangkatkan dengan tapak tangan menghala ke arah seseorang, seolah- olah mengatakan "Jangan takut".

(2) Menganugerah (varada): Tangan kanan dihulur ke hadapan, dengan tapak tangan menghala ke atas seperti dalam pemberian rambut azimat kepada 2 orang saudagar.

(3) Meditasi (jhana atau samadhi): Tangan kanan terletak di atas tangan kiri. Gaya ini biasa dikaitkan dengan posisi teratai (Padmasana).

(4) Bersyarah (vyakarana): Kedua-dua belah tangan dinaikkan seperti dalam reaksi menyampaikan syarahanNya. Satu contoh terkenal untuk gaya ini ialah imej Syarahan Pertama yang didapati di Sarnath.

(5) Bertanya (vitakka): Kedua-dua belah tangan dinaikkan semasa menyoal atau dalam renungan yang serius. Gaya ini lebih biasa didapati pada imej Bodhisatva.

(6) Memanggil bumi untuk menjadi saksi (bhumi-samphassa): Hujung jari tangan kanan menyentuh bumi semasa Mara mencabar akan hakNya untuk duduk di bawah pokok Bodhi. Bumi bergempa membuktikan kesucian Bodhisatva.


Ketenteraman yang dipamerkan oleh imej Buddha mencerminkan summum bonum Buddhisme: pembebasan dari kesedihan.

Tiada imej Buddha yang menunjukkan perasaan ketakutan, kesengsaraan, kesakitan atau putus harapan. Sebaliknya, imej Buddha adalah imej yang bergaya tenang dan menyenangkan; satu simbol dengan penuh keindahan seni yang seimbang, satu objek untuk direnung dengan mendalamnya. Imej Buddha melambangkan matlamat hidup kita, dan mengingatkan kita tentang kewujudan benih Buddha yang ada dalam diri kita yang menunggu masa untuk bercambah kepada Pembebasan Tertinggi.


Jika ada sesiapa, yang menganggapkan kita sebagai pemuja patung, maka bolehlah dijelaskan tanggapan kita, bahawa kita bukan memuja imej Buddha tetapi menghormati apa yang dilambangkan oleh imej itu. Apa yang kita lakukan adalah sama dengan patriot-patriot yang mengangkatkan topi mereka semasa perarakan panji-panji (bendera) melintasi di depan mereka, atau meletakkan karangan bunga di hadapan Tugu Peringatan Pahlawan. Tidak ramai yang boleh menerima sinaran cahaya Kebenaran yang terdedah secara langsung. Kebanyakan daripada kita perlu memandang Kebenaran ini melalui simbol-simbol yang sesuai. Pada biasanya orang yang menganggapkan dirinya terlalu bijak dan tidak memerlukan simbol ini, dan mentertawakan orang lain yang memerlukan simbol-simbol itu, pada hakikatnya merekalah pemuja berhala yang teruk sekali kerana mereka memujakan imej diri sendiri.

nota kaki:

Perkataan "Buddha" bermaksud "telah mencapai Pencerahan Sempurna" atau "telah mencapai kesedaran". Ianya adalah satu gelaran kepada sesiapa yang telah mencapai Pencerahan yang tertinggi dan sempurna. Buddhis mempercayai Buddha sudah ada dan akan wujud dengan tidak terkira bilangannya. Buddha yang terdapat pada masa ini iaitu Gotama/Gautama, hidup lima abad terdahulu daripada Nabi Isa, lebih kurang hidup sezaman dengan Confucius di China, Parmenides di Yunani, Zoroaster di Iran dan Isaih, seorang nabi Yahudi.

Buddha dilahirkan di Taman Lumbini, terletak di kawasan Rummindai moden di Nepalese Terai sekarang. IbubapaNya adalah Raja Suddhodana dan Permaisuri Maha Maya. Nama peribadinya ialah Siddhattha (Harapan telah dipenuhi). Nama keluarganya Gotama, dan kaumnya adalah Sakya. Oleh kerana Beliau cuba mencari kebenaran, Beliau dikenali "Sakyamuni", yang bermakna orang Sakya yang bijaksana.

Selama 6 tahun, beliau menjalani hidup pertapaan melampau, badan yang lemah itu tidak dapat membantunya dalam menemui hasratnya. Kemudian, beliau menghindari daripada 2 ekstrim iaitu yang menjauhkan penyeksaan diri sendiri dan keseronokan hawa nafsu yang keterlaluan. Beliau mencapai Pencerahan Sempurna pada usia 35 tahun dan seterusnya menjadi Buddha. Buddha menyebar Ajaranya selama 45 tahun dan meninggal dunia pada umur 80 tahun.

[credit goes to an anonymous writer of this article]

Wednesday, August 12, 2009

005

//The Baby Lullabies//


[credit: blackpaintbrush.org for the image]

Hush, little baby, don't say a word.
Papa's gonna buy you a mockingbird

And if that mockingbird won't sing,
Papa's gonna buy you a diamond ring

And if that diamond ring turns brass,
Papa's gonna buy you a looking glass

And if that looking glass gets broke,
Papa's gonna buy you a billy goat

And if that billy goat won't pull,
Papa's gonna buy you a cart and bull

And if that cart and bull turn over,
Papa's gonna buy you a dog named Rover

And if that dog named Rover won't bark
Papa's gonna buy you a horse and cart

And if that horse and cart fall down,
You'll still be the sweetest little baby in town.

Tuesday, August 11, 2009

004

'Iraqi, Al-Jilli dan Jami, mengatakan sifat-sifat Tuhan yang pada hakikatnya adalah Cinta; telah terkandung di dalam kalimah suci Bismi Allah Ar-Rahman Ar-Rahim. Di dalam perkataan Bismillah itu terdapat dua macam Cinta Tuhan iaitu 'rahman' dan 'rahim'. Rahman dan rahim berasal dari perkataan sama iaitu rahma (rahmat). Rahman adalah rahmat tuhan yang bersifat esensial (dzatiyah) dan rahim adalah rahmat Tuhan yang bersifat wajib (wujub). Dikatakan esential kerana sifat rahman Tuhan atau wujud rahman-Nya berlaku atas segala ciptaan-Nya dan atas segala manusia. Segala ciptaan di alam semesta tidak terbebas dari rahman-Nya. Semua memperoleh kewujudan kerana rahman-Nya, dan diliputi oleh pengetahuan-Nya yang termanifestasikan kerana dorongan Cinta.

Di lain hal, rahim disebut rahmat-Nya yang wajib sebab ia wajib dilimpahkan kepada orang-orang tertentu yang mencintai-Nya dengan penuh kesungguhan, yakni orang-orang mukmin dan muttaqin yang saleh, beramar makruf nahi mungkar dan sungguh-sungguh melakukan mujahadah, sehingga akhirnya musyahadah, dan mukasyafah.

Gagasan ini diekspresikan dengan jelas oleh Syeikh Hamzah Fansuri di dalam syair didaktisnya:

Tuhan kita yang bernama Qadim
Pada sekalian makhluk terlalu karim
Tandanya qadir lagi hakim
Menjadikan alam dari Ar-Rahman Ar-Rahim

Rahman itulah yang bernama
Sifat Tiada bercerai dengan kunhi Zat
Di sana perhimpunan sekalian ibarat
Itulah hakikat yang bernama ma'lumat

Rahman itulah yang bernama Wujud
Keadaan Tuhan yang sedia ma'bud
Kenyataan Islam, Nasrani dan Yahud
Dari Rahman itulah sekalian maujud


Ma'bud itulah yang terlalu bayan
Pada kedua alam kull qawm huwa fi sya'n
Ayat ini daripada Surah Ar-Rahman
Sekalian alam di sana hairan

Ma'bud itulah yang bernama haqiq
Sekalian alam di dalamnya ghariq
Olehnya itulah sekalian fariq
Pada kunhi-Nya tiada beroleh tariq

Hakikat itu terlalu 'iyan
Pada rupa kita sekalian insan
Ayna-ma tuwallu suatu burhan
Fa tsamma wajhu Allah pada sekalian maqan

Insan itu terlalu 'ali
Hakikat Rahman yang maha baqi
Ahsanu taqwimi itu rabbani
Akan kenyataan Tuhan yang bernama subhani

Subhani terlalu 'ajib
Dari habl al-warid pun Ia qarib
Indah sekali qadi dan khatib
Demikian hampir tiada bernasib

Aho segala kita yang 'asyiqi
Ingat-ingat akan ma'nn insani
Jika sungguh engkau bangsa ruhani
Jadikan dirimu rupa sultani

Kenal dirimu hai anak 'alim
Supaya engkau nentiasa salim
Dengan dirimu yogya kau qa'im
Itulah hakikat salat dan sa'im

Dirimu itu bernama khalil
Tiada bercerai dengan Rabb Al-Jalil
Jika dapat ma'na dirimu akan dalil
Tiada berguna madzhab dan sabil

Kullu man 'alay-ha fanin ayat min Rabbihi
Menyatakan insan irji'i illa asliki
Akan insan yang beroleh tawfiqihi
Supaya karam di dalam sirru sirrihi

Situlah wujud sekalian fanun
Tinggallah engkau daripada mal wa'l-banun
Engkaulah 'asyiq terlalu junun
inna li'llahi wa inna ilayhi raji'un


Hamzah gharib unggas quddusi
Akan rumahnya Bait Al-Ma'muri
Kursinya sekalian kapuri
Min al-asyjari di negeri Fansuri

[dipetik dari: Hamzah Fansuri: Risalah Tasawwuf dan Puisi-puisinya]