Saturday, November 21, 2009

018

I: about facts

'Now, what I want is facts. Teach these boys and girls nothing but facts. Facts alone are wanted in life. Plant nothing else, and root out everything else. You can only form the minds of reasoning animals upon facts: nothing else will ever be of any service to them. This is the principle on which I bring up my own children and this is the principle on which I bring up these children. Stick to facts, sir!"

[Gradgrind in Hard Times]


II: words of equal value

Indeed she was so far from regretting want of beauty, that she never mentioned that perfection (if it can be called one) without contempt; and would often thank GOD she was not as handsome as miss such a one, whom perhaps beauty had led into errors, which she might have otherwise avoided. Miss Bridget All-Worthy (for that was the name of this lady) very brightly conceived the charms of person in a woman to be no better than snares for herself, as well as for others; and yet so discreet was she in her conduct, that her prudence was as much on the guard, as if she had all the snares to apprehend which were ever laid for her whole sex. Indeed, I have observed (tho' it may seem uncountable to the reader) that this guard of prudence, like the trained bands, is always readiest to go on duty where there is the least danger. It often basely and cowardly deserts those Paragons for whom the men are all wishing, sighing, dying, and spreading every net in their power, and constantly attends at the heels of that higher order of women, for whom the other sex have a more distant and awful respect, and whom (from despair, I suppose, of success) they never venture to attack.

(Fielding's Tom Jones, Book I, Chapter 2)

Friday, October 23, 2009

O17


[A Persian painting by Mahmud Farshchian, showing Hafez, The Poet]

SELECTED RUBA’IYAT OF HAFIZ

THE CUP’S LIP

Never, never separated your lip make from the cup’s lip;
so your desire from world, you take from the cup’s lip.
Since in the world’s cup sweet and bitter are combined,
take this from Beloved’s lip, that take from the cup’s lip.

A DROP OF BLOOD

You said this: "I’m yours and so have no more concern,
make the heart joyful, to patience give all your concern."
What heart? Where’s patience? That which You call heart
is only a drop of blood and there is so much for concern.

SUCH CRUELTY

For loving the Beloved’s face, against me don’t complain:
against those with hearts full of misery, don’t complain.
Sufi, since you have knowledge of the wayfarers’ ways,
against the drinking man, with cruelty don’t complain.

NEITHER: NOR

Neither the tale about that candle of Chigil one can tell,
nor condition of the heart, burning still, one can tell:
in my tired heart there is grief because there’s no friend
who about grief which the heart does fill, one can tell.

WITH GOLD

Those lovely ones of the world one can bait with gold,
because of them, happily one can’t enjoy fate with gold.
See the narcissus that possesses the crown of the world
how its head also bends, from being straight, with gold.

SOME CONSOLATION

A moon whose shape was straight like the tall cypress,
straightened her face while holding mirror in her caress.
When I offered her the handkerchief she then said this:
"You seek union? At least your imagination isn’t a mess!"

LION OF GOD

Loosener of knots and Awarder of heaven and of hell
don’t leave us, or from feet we’ll fall, You know well.
For how much longer will the wolves keep snatching?
Lion of God, show Your claws and the enemy dispel.

EXCEPT

Except Your image, nothing comes into that sight of ours,
except Your street, no other path holds delight of ours.
Although to all in Your time a sweet sleep does come,
God, I swear it never comes to eye, day or night, of ours.

FAR TOO QUICKLY

You, Your eye: deceit and sorcery keep raining from it:
hey, many swords, war’s weaponry, keep raining from it.
Too quickly You became wearied and upset with friends;
Your heart: stones that do injury, keep raining from it.

STRANGE!

Every friend who boasted about faith an enemy became:
every one with a spoiled garment, one of purity became.
They say: "Night is pregnant with the unknown." Strange!
Since she knew no man, how is it pregnant she became?


[hafizofshiraz.com]

Wednesday, October 21, 2009

016


'Mama, why is there so much pain and sorrow and suffering? What is it all for?

'It is for our good, my child. In His wisdom and mercy the Lord sends us these afflictions to discipline us and make us better ... None of them comes by accident.'

'Isn't it strange? ... Did He give Billy Norris the typhus?'

'Yes.'

'What for?'

'Why, to discipline him and make him good.'

'But he died, mama, and so it couldn't make him good.'

'Well, then, I supposed it was for some other reason ... I think it was to discipline his parents.'

'Well, then, it wasn't fair, mama ... he was the one that was punished ... Did He make the roof fall in on the stranger that was trying to save the crippled old woman from the fire, mama?'

[Mark Twain's Little Bessie Would Assist Providence]




[note: sometimes, the pain and suffering is just THIS absurd]

[blackpaintbrush.org]


Saturday, October 10, 2009

015

SASHAHIDAN SYEIKH SITI JENAR (bah.3)


AJARAN TENTANG PENERAPAN RUKUN IMAN, ISLAM DAN IHSAN

18.“Kepada mereka, Siti Jenar pertama-tama mengajarkan akan asal usul kehidupan, kedua diberitahukan akan pintu kehidupan. Ketiga, tempat besok bila sudah hidup kekal abadi, keempat alam kematian yaitu yang sedang dijalani sekarang ini. Lagipula mereka diberitahu akan adanya Yang Maha Luhur”

(Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh IV Sinom, 6-7).

Kepada pada muridnya, Syekh Siti Jenar mengajarkan ilmu ma’rifat secata bertahap, yang harus dikuasai oleh seseorang, jika ingin menjadi manusia sempurna (al-insan al-kamil), serta bagi yang ingin menempuh laku manunggal dengan Tuhan. (1) Pertama-tama Syekh Siti Jenar mengajarkan tentang asal-usul manusia [ngelmu sangkan-paran]; (2) Langkah berikutnya, ia mengajarkan masalah yang berkaitan dengan kehidupan, khususnya apa yang disebut sebagai pintu kehidupan; (3) Langkah ketiga Syekh Siti Jenar menunjukkan tempat manusia besok ketika sudah hidup kekal abadi; (4) Taham keempat, ia menunjukkan tempat alam kematian, yaitu yang sedang dialami dan dijalani manusia sekarang ini, di dunia ini, serta berbagai kiat cara menghadapinya; (5) Langkah terakhir Syekh Siti Jenar mengajarkan tentang adanya Tuhan Yang Maha Luhur yang menjadikan bumi dan angkasa, sebagai pelabuhan akhir bagi kemanunggalan dan keabadian.


19.“Aku angkat saksi di hadapan Dzat-Ku sendiri, sesungguhnya tidak ada Tuhan kecuali Aku, dan Aku angkat saksi sesungguhnya Muhammad itu utusan-Ku, sesungguhnya yg disebut Allah Ingsun diri sendiri (badan-Ku), Rasul itu Rahsa-Ku, Muhammad itu cahaya-Ku, Akulah Dzat yg hidup tidak akan terkena mati, Akulah Dzat yang selalu ingat tidak pernah lupa, Akulah Dzat yg kekal tidak ada perubahan dalam segala keadaan, (bagi-Ku) tidak ada yg samar sesuatupun, Akulah Dzat yang Maha Menguasai, yang Kuasa dan Bijaksana, tidak kekurangan dalam pengertian, sempurna terang benerang, tidak terasa apa-apa, tidak kelihatan apa-apa, hanya Aku yg meliputi sekalian alam dengan kodrat-Ku.”


(R. Ng. Ranggawarsita, WIRID Punika Serat Wirid Anyariyo-saken Wewejanganipun Wali VIII, Administrasi Jawi Kandha Surakarta, penerbit Albert Rusche & Co., Surakarta, 1908, hlm.15-16).


Dari wejangan Sasahidan itu, nampaklah pengalaman spiritual dan keadaan kemanunggalan pada diri Syekh Siti Jenar terjadi dalam waktu yang lama, dan mendominasi keseluruhan wahana batin Syekh Siti Jenar. Nampak juga bahwa dalam intisari ajaran tersebut, konsistensi sikap batin dan sikap dzahir dari ajaran Syekh Siti Jenar. Jika ilmu tidak ada yang dirahasiakan dalam pengajaran, maka demikian pula pengalaman batin dari keagamaan juga tidak bisa disembunyikan. Dan pengalaman keagamaan yang terlahir tidak harus ditutup-tutupi walaupun dengan dalih dan selubung syari’at. Dan akhirnya dalam ajaran Sasahidan itulah, semua ajaran Syekh Siti Jenar tersimpul.


KEMANUNGGALAN KEIMANAN


20.“Adapun manunggalnya keimanan, itu menjadi tempat berkumpulnya jauhar (mutiara) Muhammad, terdiri atas 15 perkara, seperti perincian di bawah ini:

a.Imannya imam, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah keberadaan Allah.

b.Imannya tokide (tauhid), maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah panunggale (tempat manunggalnya) Allah.

c.Imannya syahadat, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah sifatullah (sifatnya Allah).

d.Imannya ma’rifat, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah kewaspadaan Allah.

e.Imannya shalat, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah menghadap Allah.

f.Imannya kehidupan, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah kehidupannya Allah.

g.Imannya takbir, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah kepunyaan keangungan Allah.

h.Imannya saderah, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah pertemuan Allah.

i.Imannya kematian, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah kesucian Allah.

j.Imannya junud, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah wadahnya Allah.

k.Imannya jinabat, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah kawimbuhaning (bertambahnya ni’mat dan anugerah) Allah.

l.Imannya wudlu, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah asma (Nama) Allah.

m.Imannya kalam (perkataan), maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah ucapan Allah.

n.Imannya akal, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah juru bicara Allah.

o.Imannya nur, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah wujudullah, yaitu tempat berkumpulnya seluruh jagat (makrokosmos), dunia akhirat, surga neraka, ‘arsy kursi, loh kalam (lauh al-kalam), bumi langit, manusia, jin, belis (iblis) laknat, malaikat, nabi, wali, orang mukmin, nyawa semua, itu berkumpul di pucuknya jantung yang disebut alam kiyal (‘alam al-khayal), maksudnya adalah angan-angannya Tuhan, itulah yang agung yang disebut alam barzakh, yang dimaksudnya adalah pamoring gusti kawula, yang disebut alam mitsal, yang dimaksudnya adalah awal pengetahuan, yaitu kesucian dzat sifat asma af’al, yang disebut alam arwah, maksudnya berkumpulnya nyawa yang adalah dipenuhi sifat kamal jamal.”

(Wedha Mantra, hlm. 54-55).

Ajaran tersebut terkenal dengan sebutan panunggaling iman. Dari aplikasi iman dalam bentuk keimanan Manunggaling Kawula-Gusti tersebut tampak, bahwa fungsi manusia sebagai khalifatullah (wakil real Allah) di muka bumi betul-betul nyata. Manusia adalah cermin dan pancaran wujud Allah, dengan fungsi iradah dan kodrat yang berimbang. Semua bentuk syari’at agama ternyata memiliki wujud implementasi bagi tekad hatinya, sekaligus ditampakkan melalui tingkah lahiriyahnya.

Jelas sudah bahwa dalam sistem sufisme Imannya kehidupan, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah kehidupannya Allah, ajaran “langit” Allah berhasil “dibumikan” oleh Imannya kehidupan, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah kehidupannya Allah. Melalui doktrin utama Manunggaling Kawula-Gusti. Manusia diajak untuk membuktikan keberadaan Allah secara langsung, bukan hanya memahami “keberadaan” dari sisi nalar-pikir (ilmu) dan rasa sentimen makhluk (perasaan yang dipaksa dengan doktrin surga dan neraka). Imannya kehidupan, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah kehidupannya Allah. Mengajarkan dan mengajak manusia bersama-sama “merasakan” Allah dalam diri pribadi masing-masing.

21.Adapun yang menjadi maksud:


(a) Iman, adalah pangandeling (pusaka andalan) roh.
(b)Tokid (tauhid), panunggale (saudara tak terpisah, tempat manunggal) roh.
(c)Ma’rifat, penglihatan roh.
(d)Kalbu, penerimaan (antena penerima) roh.
(e)Akal, pembicaraannya roh.
(f)Niat, pakaremaning roh.
(g)Shalat, menghadapnya roh.
(h)Syahadat, keadaan roh.

(Wedha Mantra, hlm. 54).

Pernyataan Syekh Siti Jenar tersebut mempertegas maksud Manunggalnya Iman di atas. Di dalam hal ini, Syekh Siti Jenar menjelaskan maksud dari masing-masing doktrin pokok tauhid dan fiqih ketika dikaitkan dengan spiritual. Iman, tauhid, ma’rifat, qalbu, dan akal adalah doktrin pokok dalam wilayah tauhid; dan niat, shalat serta syahadat adalah doktrin pokok fiqih. Oleh Syekh Siti Jenar semua itu sirangkai menjadi bentuk perbuatan roh manusia, sehingga masing-masing memiliki peran dan fungsi yang dapat menggerakkan seluruh kepribadian manusia, lahir dan batin, roh dan jasadnya. Itulah makna keimanan yang sesungguhnya. Sebab rukun iman, rukun Islam dan ihsan pada hakikatnya adalah suatu kesatuan yang utuh yang membentuk kepribadian illahiyah pada kedirian manusia.

22.“Yang disebut kodrat itu yang berkuasa, tiada yang mirip atau yang menyamai. Kekuasaannya tanpa piranti, keadaan wujudnya tidak ada baik luar maupun dalam merupakan kesantrian yang beraneka ragam. Iradatnya artinya kehendak yang tiada membicarakan, ilmu untuk mengetahui keadaan, yang lepas jauh dari pancaindera bagaikan anak gumpitan lepas tertiup.”

(Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandangula, 31).

Bagi Syekh Siti Jenar, kodrat dan iradat bukanlah hal yang terpisah dari manusia, dan bukan mutlak milik Allah. Kodrat dan iradat menurut Syekh Siti Jenar terkait erat dengan eksistensi sang Pribadi (manusia). Pribadi adalah eksistensi roh. Maka jika roh adalah pancaran cahaya-Nya, pribadi adalah tajalli-Nya, penjelmaan Diri-Nya. Pribadi adalah Allah yang menyejarah. Maka Syekh Siti Jenar mengemukakan bahwa dirinya adalah sang pemilik dua puluh sifat ketuhanan. Oleh karena itu kodrat merupakan kuasa pribadi, sifat yang melekat pada pribadi sejak zaman azali dan itu langgeng. Demikian pula adanya iradat, kehendak atau keinginan.

Antara karsa, keinginan dan kuasa, adalah hal yang selalu berkelindan bagi wujud keduanya. Tentu menyangkut kehendak, setiap pribadi memiliki karsa yang mandiri dan yang berhak merumuskan hanyalah “perundingan” antara pemilik iradah dengan Yang Maha Memiliki Iradah. Kemudian untuk mewujudkan rasa cipta itu, perlu juga pelimpahan kodrat Allah pada manusia.

Untuk itu semua, Syekh Siti Jenar mendidik manusia untuk mengetahui Yang Maha Kuasa, dan mengetahui letak pintu kehidupan serta kematian. Tujuannya jelas, agar manusia menjadi Pribadi Sejati, pemilik iradah dan kodrat bagi dirinya sendiri.

[bersambung]
[dipetik dari sebuah forum: KASKUS]

Tuesday, September 29, 2009

014

Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Agama Buddha

Oleh : Corneles Wowor, M.A.

Ketahuilah para Bhikkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Duhai para Bhikkhu, apabila Tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para Bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.

Ungkapan di atas adalah pernyataan dari Sang Buddha yang terdapat dalam Sutta Pitaka, Udana VIII : 3, yang merupakan konsep Ketuhanan Yang Mahaesa dalam agama Buddha. Ketuhanan Yang Mahaesa dalam bahasa Pali adalah "Atthi Ajatang Abhutang Akatang Asamkhatang" yang artinya "Suatu Yang Tidak Dilahirkan, Tidak Dijelmakan, Tidak Diciptakan dan Yang Mutlak". Dalam hal ini, Ketuhanan Yang Mahaesa adalah suatu yang tanpa aku (anatta), yang tidak dapat dipersonifikasikan dan yang tidak dapat digambarkan dalam bentuk apa pun. Tetapi dengan adanya Yang Mutlak, yang tidak berkondisi (asamkhata) maka manusia yang berkondisi (samkhata) dapat mencapai kebebasan dari lingkaran kehidupan (samsara) dengan cara bermeditasi.

Dengan membaca konsep Ketuhanan Yang Mahaesa ini, kita dapat melihat bahwa konsep Ketuhanan dalam agama Buddha adalah berlainan dengan konsep Ketuhanan yang diyakini oleh agama-agama lain. Perbedaan konsep tentang Ketuhanan ini perlu ditekankan di sini, sebab masih banyak umat Buddha yang mencampur-adukkan konsep Ketuhanan menurut agama Buddha dengan konsep Ketuhanan menurut agama-agama lain. Sehingga banyak umat Buddha yang menganggap bahwa konsep Ketuhanan dalam agama Buddha adalah sama dengan konsep Ketuhanan dalam agama-agama lain. Hal inilah yang menjadi dasar penulisan ini.

Bila kita mempelajari ajaran agama Buddha seperti yang terdapat dalam kitab suci Tripitaka, maka bukan hanya konsep Ketuhanan yang berbeda dengan konsep Ketuhanan dalam agama lain, tetapi banyak konsep lain yang tidak sama pula. Konsep-konsep agama Buddha yang berlainan dengan konsep-konsep dari agama lain antara lain adalah konsep-konsep tentang : Alam Semesta, Kejadian Bumi dan Manusia, Kehidupan Manusia di Alam Semesta, Kiamat dan Keselamatan atau Kebebasan.

Alam Semesta

Menurut pandangan Buddhis, alam semesta ini luas sekali. Dalam alam semesta terdapat banyak tata surya yang jumlahnya tidak dapat dihitung. Hal ini diterangkan oleh Sang Buddha sebagai jawaban atas pertanyaan bhikkhu Ananda dalam Anguttara Nikaya sebagai berikut :

Ananda apakah kau pernah mendengar tentang seribu Culanika loka dhatu (tata surya kecil) ? Ananda, sejauh matahari dan bulan berotasi pada garis orbitnya, dan sejauh pancaran sinar matahari dan bulan di angkasa, sejauh itulah luas seribu tata surya. Di dalam seribu tata surya terdapat seribu matahari, seribu bulan, seribu Sineru, seribu jambudipa, seribu Aparayojana, seribu Uttarakuru, seribu Pubbavidehana .Inilah, Ananda, yang dinamakan seribu tata surya kecil (sahassi culanika lokadhatu). *


Ananda, seribu kali sahassi culanika lokadhatu dinamakan "Dvisahassi majjhimanika lokadhatu". Ananda, seribu kali Dvisahassi majjhimanika lokadhatu dinamakan "Tisahassi Mahasahassi Lokadhatu". Ananda, bilamana Sang Tathagata mau, maka ia dapat memperdengarkan suara-Nya sampai terdengar di Tisahassi mahasahassi lokadhatu, ataupun melebihi itu lagi.

Sesuai dengan kutipan di atas dalam sebuah Dvisahassi Majjhimanika lokadhatu terdapat 1.000 x 1.000 = 1.000.000 tata surya. Sedangkan dalam Tisahassi Mahasahassi lokadhatu terdapat 1.000.000 x 1.000 = 1.000.000.000 tata surya. Alam semesta bukan hanya terbatas pada satu milyard tata surya saja, tetapi masih melampauinya lagi.

Catatan:

  • Buku Peringatan WAISAK 2528/1984 Yayasan Maha Bodhi Indonesia, Jakarta, 1984, hal. 53. Dikutip dari Anguttara Nikaya, Ananda Vagga.
  • Jambudipa adalah belahan bumi bagian selatan.
  • Aparayojana adalah belahan bumi bagian barat.
  • Uttarakuru adalah belahan bumi bagian utara.
  • Pubbavideha adalah belahan bumi bagian timur

Kejadian Bumi dan Manusia

Terjadinya bumi dan manusia merupakan konsep yang unik pula dalam agama Buddha, khususnya tentang manusia pertama yang muncul di bumi kita ini bukanlah hanya seorang atau dua orang, tetapi banyak. Kejadian bumi dan manusia pertama di bumi ini diuraikan oleh Sang Buddha dalam Digha Nikaya, Agganna Sutta dan Brahmajala Sutta. Tetapi di bawah ini hanya uraian dari Agganna Sutta yang akan diterangkan.

Vasettha, terdapat suatu saat, cepat atau lambat, setelah suatu masa yang lama sekali, ketika dunia ini hancur. Dan ketika hal ini terjadi, umumnya mahluk-mahluk terlahir kembali di Abhassara (alam cahaya); di sana mereka hidup dari ciptaan batin (mano maya), diliputi kegiuran, memiliki tubuh yang bercahaya, melayang-layang di angkasa, hidup dalam kemegahan. Mereka hidup demikian dalam masa yang lama sekali.


Pada waktu itu (bumi kita ini) semuanya terdiri dari air, gelap gulita. Tidak ada matahari atau bulan yang nampak, tidak ada bintang-bintang maupun konstelasi-konstelasi yang kelihatan; siang maupun malam belum ada, laki-laki maupun wanita belum ada. Mahluk-mahluk hanya dikenal sebagai mahluk-mahluk saja.


Vasettha, cepat atau lambat setelah suatu masa yang lama sekali bagi mahluk-mahluk tersebut, tanah dengan sarinya muncul keluar dari dalam air. Sama seperti bentuk-bentuk buih (busa) di permukaan nasi susu masak yang mendingin, demikianlah munculnya tanah itu. Tanah itu memiliki warna, bau dan rasa. Sama seperti dadi susu atau mentega murni, demikianlah warna tanah itu; sama seperti madu tawon murni, demikianlah manis tanah itu. Kemudian Vasettha, di antara mahluk-mahluk yang memiliki sifat serakah (lolajatiko) berkata : 'O apakah ini? Dan mencicipi sari tanah itu dengan jarinya. Dengan mencicipinya, maka ia diliputi oleh sari itu, dan nafsu keinginan masuk dalam dirinya. Mahluk-mahluk lainnya mengikuti contoh perbuatannya, mencicipi sari tanah itu dengan jari-jari, mahluk-mahluk itu mulai makan sari tanah, memecahkan gumpalan-gumpalan sari tanah tersebut dengan tangan mereka.


Dan dengan melakukan hal ini, cahaya tubuh mahluk-mahluk itu lenyap. Dengan lenyapnya cahaya tubuh mereka, maka matahari, bulan, bintang-bintang dan konstelasi-konstelasi nampak siang dan malam terjadi. Demikianlah, Vasettha, sejauh itu bumi terbentuk kembali.


Vasettha, selanjutnya mahluk-mahluk itu menikmati sari tanah, memakannya, hidup dengannya, dan berlangsung demikian dalam masa yang lama sekali. Berdasarkan atas takaran yang mereka makan itu, maka tubuh mereka menjadi padat, dan terwujudlah berbagai macam bentuk tubuh. Sebagian mahluk memiliki bentuk tubuh yang indah dan sebagian mahluk memiliki tubuh yang buruk. Dan karena keadaan ini, mereka yang memiliki bentuk tubuh yang indah memandang rendah mereka yang memiliki bentuk tubuh yang buruk, maka sari tanah itupun lenyap, ketika sari tanah lenyap muncullah tumbuhan dari tanah (bhumipappatiko). Cara tumbuhnya seperti cendawan. Mereka menikmati, mendapatkan makanan, hidup dengan tumbuhan yang muncul dari tanah tersebut, dan hal ini berlangsung demikian dalam masa yang lama sekali (seperti di atas). Sementara mereka bangga akan keindahan diri mereka, mereka menjadi sombong dan congkak, maka tumbuhan yang muncul dari tanah itu pun lenyap. Selanjutnya tumbuhan menjalar (badalata) muncul warnanya seperti dadi susu atau mentega murni, manisnya seperti madu tawon murni. Mereka menikmati, mendapatkan makanan dan hidup dengan tumbuhan menjalar itu, maka tubuh mereka menjadi lebih padat; dan perbedaan bentuk tubuh mereka nampak lebih jelas; sebagian nampak indah dan sebagian nampak buruk. Dan karena keadaan ini, maka mereka yang memiliki bentuk tubuh indah memandang rendah mereka yang memiliki bentuk tubuh buruk ..Sementara mereka bangga akan keindahan tubuh mereka sehingga menjadi sombong dan congkak, maka tumbuhan menjalar itu pun lenyap.

Kemudian, Vasettha, ketika tumbuhan menjalar lenyap, muncullah tumbuhan padi (sali) yang masak di alam terbuka, tanpa dedak dan sekam, harum, dengan bulir-bulir yang bersih. Pada sore hari mereka mengumpulkan dan membawanya untuk makan malam, pada keesokkan paginya padi itu telah tumbuh dan masak kembali. Bila pada pagi hari mereka mengumpulkan dan membawanya untuk makan siang, maka pada sore hari padi tersebut telah tumbuh dan masak kembali, demikian terus menerus padi itu muncul.

Vasettha, selanjutnya mahluk-mahluk itu menikmati padi (masak) dari alam terbuka, mendapatkan makanan dan hidup dengan tumbuhan padi tersebut, dan hal ini berlangsung demikian dalam masa yang lama sekali. Berdasarkan atas takaran yang mereka nikmati dan makan itu, maka tubuh mereka tumbuh lebih padat, dan perbedaan bentuk mereka nampak lebih jelas. Bagi wanita nampak jelas kewanitaannya (itthilinga) dan bagi laki-laki nampak jelas kelaki-lakiannya (purisalinga). Kemudian wanita sangat memperhatikan tentang keadaan laki-laki, dan laki-laki pun sangat memperhatikan keadaan wanita. Karena mereka saling memperhatikan keadaan diri satu sama lain terlalu banyak, maka timbullah nafsu indriya yang membakar tubuh mereka. Dan sebagai akibat adanya nafsu indriya tersebut, mereka melakukan hubungan kelamin.

Vasettha, ketika mahluk-mahluk lain melihat mereka melakukan hubungan kelamin .


Catatan:

  • Sutta Pitaka, Digha Nikaya. Departemen Agama RI Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Hindu dan Buddha. Proyek Pengadaan Kitab Suci Buddha, 1983, hal. 19 - 22. Kata-kata yang bergaris bawah adalah dari saya.
  • Abhassara adalah sebuah alam dari 31 alam kehidupan menurut agama Buddha.
    Untuk ini lihat TABEL Alam-alam kehidupan di bagian akhir dari penulisan ini.
  • Kehidupan di alam Abhassara dapat dicapai oleh mereka yang melaksanakan meditasi ketenangan batin (samatha) hingga mencapai tingkat samadhi yang disebut Jhãna II. Bila orang yang telah mencapai tingkat Jhãna II ini meninggal dunia pada waktu ia berada dalam keadaan samadhi pada tingkat Jhãna II, maka ia otomatis akan terlahir kembali sebagai dewa brahma di alam Abhassara.

Kehidupan Manusia di Alam Semesta

Di kalangan masyarakat dan karena pengaruh pandangan atau ajaran dari agama-agama lain, banyak orang menganggap bahwa kehidupan manusia di dunia ini hanya sekali saja. Pandangan ini berbeda sekali dengan agama Buddha, karena dalam Digha Nikaya, Brahmajala Sutta, Sang Buddha menerangkan tentang kehidupan manusia yang telah hidup berulang-ulang kali yang diingat berdasarkan pada kemampuan batin yang dihasilkan oleh meditasi. Sang Buddha mengatakan bahwa:

Ada beberapa pertapa dan brahmana yang disebabkan oleh semangat, tekad, kesungguhan dan kewaspadaan bermeditasi, ia dapat memusatkan pikirannya, batinnya, menjadi tenang, ia dapat mengingat alam-alam kehidupannya yang lampau pada 1, 2, 3, 4, 5, 10, 20, 30, 40, 50, 100, 1000, beberapa ribu atau puluhan ribu kehidupan yang lampau . 1, 2, 3, 4, 5, 10, kali masa bumi berevolusi (bumi terjadi dan bumi hancur, bumi terjadi kembali dan hancur kembali . dst.). 20, 30, sampai 40 kali masa bumi berevolusi, (tetapi) Tathagata telah menyadari dan mengetahui hal-hal lain yang lebih jauh daripada jangkauan pandangan-pandangan mereka tersebut .

Telah kita ikuti di atas bahwa menurut pandangan Buddhis, kehidupan atau kelahiran manusia bukan baru sekali saja tetapi telah berulang-ulang kali hidup di bumi ini dan juga hidup di bumi-bumi yang lain. Manusia atau mahluk hidup berpindah-pindah dari sebuah bumi ke bumi yang lain. Perpindahan kehidupan manusia dari sebuah bumi ke bumi yang lain disebabkan karena bumi yang dihuninya telah hancur lebur atau kiamat, maka setelah kematiannya di bumi tersebut ia terlahir di alam Abhassara (alam cahaya). Kelahiran di alam Abhassara ini dapat dicapai oleh orang yang melakukan meditasi ketenangan batin (samatha bhãvana). Alam Abhassara adalah sebuah alam dari 31 alam kehidupan menurut kosmologi alam kehidupan Buddhis. Tentang 31 alam ini lihatlah TABEL ALAM-ALAM KEHIDUPAN. Bila seseorang bermeditasi samatha bhãvana hingga mencapai tingkat Jhãna II, dan kalau orang tersebut meninggal dunia dalam kondisi meditasi pada Jhãna II tersebut maka ia akan terlahir sebagai Brahma di alam Abhassara dan hidup dengan masa usia yang lama sekali.

Dari ke 31 alam, kecuali lima alam Suddhavasa yaitu alam Aviha, Atappa, Sudassa, Sudassi dan Akanittha, adalah alam lokuttara (transenden) tempat kelahiran para Anagami*. Anagami adalah manusia atau mahluk yang telah melenyapkan 5 belenggu (samyojana)** dari 10 belenggu yang mengikat manusia. Anagami adalah manusia atau mahluk suci (ariya pugala) dari empat macam manusia suci menurut agama Buddha, yaitu : Sotapanna, Sakadagami, Anagami dan Arahat. Anagami akan mencapi tingkat kesucian tertinggi (arahat) di salah satu alam Suddhavasa ini, dan ia parinibbana sebagai arahat di alam ini pula.

Manusia pada umumnya telah berulang-ulang kali masuk keluar hidup di 26 alam kehidupan. Kelahiran manusia di salah sebuah alam tergantung pada amal perbuatannya semasa hidupnya di sebuah alam.


Catatan

*) Manusia suci menurut pandangan Buddhis ada empat yaitu :

  1. Sotapanna, orang suci yang paling banyak akan terlahir tujuh kali lagi.
  2. Sakadagami, orang suci yang paling banyak akan terlahir sekali lagi.
  3. Anagami, orang suci yang tidak akan terlahir lagi di alam manusia, tetapi langsung terlahir kembali di salah sebuah dari lima alam Suddhavasa. Dari salah sebuah alam Suddhavasa ini Anagami itu akan mencapai tingkat kesucian tertinggi sebagai Arahat dan akhirnya ia mencapai parinibbana.
  4. Arahat, orang suci yang telah menyelesaikan semua usahanya untuk melenyapkan semua belenggu yang mengikatnya. Bila ia meninggal dunia, ia tidak akan terlahir di alam mana pun. Ia akan parinibbana.

**) Ada sepuluh macam belenggu (samyojana) yaitu :

  1. Pandangan sesat tentang adanya pribadi, jiwa atau aku yang kekal (sakkaya-ditthi).
  2. Keragu-raguan yang skeptis pada Buddha, Dhamma, Sangha, dan tentang kehidupan yang lampau dan kehidupan yang akan datang, juga tentang hukum sebab akibat (vicikicchã).
  3. Kemelekatan pada suatu kepercayaan bahwa hanya dengan melaksanakan aturan-aturan dan upacara keagamaan seseorang dapat mencapai kebebasan (silabbata-parãmãsa).
  4. Nafsu indriya (kãma-rãga).
  5. Dendam atau dengki (vyãpãda).
  6. Kemelekatan atau kehausan untuk terlahir di alam bentuk (rüpa-rãga). Alam bentuk (rüpa-rãga) dicapai oleh seseorang apabila ia meninggal sewaktu dalam keadaan samadhi dan telah mencapai Jhãna I, Jhãna II, Jhãna III atau Jhãna IV (lihat TABEL).
  7. Kemelekatan atau kehausan untuk terlahir di alam tanpa bentuk (arüpa-rãga). Alam tanpa bentuk (arüpa-rãga) dicapai oleh seseorang apabila ia meninggal sewaktu dalam keadaan samadhi dan telah mencapai Arüpa Jhãna I, Arüpa Jhãna II, Arüpa Jhãna III atau Arüpa Jhãna IV (lihat TABEL).
  8. Perasaan untuk membandingkan diri sendiri dengan orang lain (mãna).
  9. Kegelisahan (uddhacca). Suatu kondisi batin yang haus sekali karena yang bersangkutan belum mencapai tingkat kebebasan sempurna (arahat).
  10. Kebodohan atau ketidak-tahuan (avijjã).

Sotãpanna telah melenyapkan tiga belenggu (samyojana),
yaitu (1) sakkaya-ditthi, (2) vicikicchã, dan (3) silabbata-parãmãsa.

Sakadagami telah melenyapkan tiga belenggu (samyojana)
yaitu (1) sakkaya-ditthi, (2) vicikicchã, dan (3) silabbata-parãmãsa dan telah melemahkan belenggu (4) kãma-rãga dan (5) vyãpãda.

Anãgami telah melenyapkan lima belenggu (samyojana)
yaitu (1) sampai dengan (5).
Lima samyojana (1 - 5) dikenal sebagai lima belenggu rendah atau

Orambhãgiya-samyojana.
Arahat telah melenyapkan sepuluh belenggu (1 - 10).

Lima samyojana berikut yaitu samyojana 6 - 10 dikenal pula dengan nama belenggu tinggi atau Uddhambhãgiya-samyojana.
Orambhãgiya-samyojana dan Uddhambhãgiya-samyojana telah dimusnahkan oleh Arahat.

[http://www.samaggi-phala.or.id/]

Thursday, September 3, 2009

013

In Christianity neither morality nor religion come into contact with reality at any point. Nothing but imaginary causes ('God', 'soul', 'ego', 'spirit', 'freewill'- or 'unfree will'); nothing but imaginary effects ('sin', 'redemption', 'grace', 'punishment', 'forgiveness of sins'). A traffic between imaginary beings ('God', 'spirits', 'souls'); an imaginary natural science (anthropocentric; complete lack of understanding for natural causes); an imaginary psychology (nothing but self-misunderstandings, interpretations of pleasant or unpleasant general feelings, with the aid of the sign-language of religio-moral idiosyncrasy- 'repentance', sting of conscience', 'temptation by the Devil', 'the presence of God'); imaginary teleology ('the kingdom of God', the Last Judgment', 'eternal life').


This purely fictitious world is distinguished from the world of dreams, very much to its disadvantage, insofar as the latter mirrors actuality, while the former falsifies, disvalues and denies reality. Once the concept 'nature' had been invented as the concept antithetical to 'God', 'natural' had to become 'reprehensible': this entire fictional world has its roots in the hatred of the natural (-reality!-), it is the expression of a profound discontent with the actual.


But that explains everything. Who alone has reason to lie himself out of reality? He who suffers from it. But to suffer from reality is to be an abortive reality.The dominance of feelings of displeasure over feelings of pleasure is the cause of this fictitious morality and religion; but such dominance, however, provides the formula for decadence.


[Nietzsche, The AntiChrist]

[comments: I believe that many things are without shapes, and having such incomprehensible abstracts qualities. Itu sama sekali tidak bermakna bahawa mereka adalah satu khayalan, dan tidak pernah wujud. Sekiranya anda sakit, dan anda inginkan kesihatan - adakah kesihatan itu datang dalam sesuatu bentuk, sehingga anda boleh mengenalnya? Cinta, kasih-sayang, benci, sihat, sakit, adalah perkara silih-berganti yang wujud tanpa bentuk, dan wajah. The only possible thing take make us trust these qualities is because we have experience them, and nevertheless we 'feel' them -or seeing them with our heart.]

Monday, August 24, 2009

012

"Desiderata" (Latin for "desired things", plural of desideratum) is an inspirational prose poem by Max Ehrmann about attaining happiness in life. It begins: Go placidly amid the noise and the haste, and remember what peace there may be in silence. Ehrmann first copyrighted it in 1927, but it was widely circulated in the 1960s without attribution to him. This copyright was renewed in 1954 by Bertha Ehrmann.


Desiderata. Desiderata. Desiderata.
Go placidly amid the noise and haste,
and remember what peace there may be in silence.
As far as possible without surrender,
Be on good terms with all persons.Align Center
Speak your truth quietly and clearly, and listen to others -
Even the dull and ignorant, they too have their story.
Avoid loud and aggressive persons - they are vexations to the spirit.
If you compare yourself with others, you may become vain and bitter,
For always there will be greater and lesser persons than yourself.

Enjoy your achievements as well as your plans.
Keep interested in your own career -
However humble, it is a real possession in the changing fortunes of time.
Exercise caution in your business affairs,
for the world is full of trickery.
But let this not blind you to what virtue there is.
Many persons strive for high ideals,
and everywhere life is full of heroism.
Be yourself.
Especially do not feign affection, neither be cynical about love.
For in the face of all aridity and disenchantment,
It is as perenial as the grass.
Take kindly the council of the years,
Gracefully surrendering the things of youth.
Nurture strength of spirit to shield you in sudden misfortune,
But do not distress yourself with imaginings -
Many fears are borne of fatigue and loneliness.
Beyond a wholesome discipline, be gentle with yourself.

You are a child of the universe.
No less than the trees and the stars, you have a right to be here.
And whether or not it is clear to you,
No doubt the universe is unfolding as it should.

Therefore, be at peace with God, whatever you conceive him to be.
And whatever your labors and aspirations,
in the noisy confusion of life,
Keep peace with your soul.
With all its sham, drudgery, and broken dreams,
it is still a beautiful world.
Be careful. Strive to be happy.

[Desiderata, Max Ehrmann, 1927]